alyadara

Semua orang memang terlihat panik begitu mendapati Olivia yang pingsan. Namun karena kondisi yang jadinya kurang kondusif itu, Ghea pun tidak menyadari bahwa Marcel adalah yang paling panik di sana.

Lia dan Andin, yang merupakan karyawan butik mendapati Marcel spontan memanggil nama Olivia ketika atasan mereka terjatuh, keduanya pun seketika saling bertukar pandang. Mereka jelas tahu karena mereka adalah saksi dari hubungan Olivia dan Marcel.

“Kita bawa Kak Oliv ke rumah sakit aja,” usul Ghea yang tampak khawatir.

“Iya. Kita berangkat pake mobil aku aja,” ucap Marcel yang segera diangguki oleh Ghea begitu saja.

“Kemarin Kak Oliv emang baru balik dari Singapur, kayaknya Kak Oliv kecapean deh,” ucap Ghea begitu melangkah di samping Marcel.

Marcel menggendong Olivia di dekapannya dan membawanya ke mobilnya. Setelah meletakkan Olivia dengan pelan di jok belakang dan Ghea juga masuk, Marcel segera meminta Arsen untuk membawa mereka ke rumah sakit.

Arsen hanya menuruti perintah Marcel untuk memanuver mobil menuju rumah sakit. Meski di dalam benaknya, terlintas banyak pertanyaan tentang apa yang baru saja terjadi.

***

Olivia segera dibawa ke ruang UGD dan mendapat penanganan oleh dokter. Ghea dan Marcel menunggu hasil pemeriksaan tentang kondisi Olivia. Di sana Ghea duduk di salah satu kursi di depan ruang UGD.

Sementara Marcel tidak duduk. Pria itu berdiri dan mondar-mandir, terlihat jelas bahwa kegelisahan tengah menyelimutinya. Marcel tampak acuh dengan kenyataan bahwa dirinya tengah bersama Ghea dan sikapnya tampak terang-terang mengkhawatirkan Olivia.

Sekitar 30 menit berlalu, dokter yang menangani Olivia akhirnya keluar dari ruang UGD dan menghampiri Ghea dan Marcel.

“Kondisi pasien baik-baik saja. Pasien hanya mengalami kelelahan dan kami akanbantu untuk rawat jalan. Sementara pasien akan dirawat di ruang UGD dulu dan nanti setelah dipantau, jika memang perlu, mungkin harus rawat inap,” jelas dokter perempuan itu.

Ghea segera berujar, “Terima kasih Dok. Saya adalah keluarganya pasien, jadi saya yang akan mengurus biaya administrasinya.”

“Sama-sama Mbak. Saya permisi dulu kalau begitu.” Dokter itu pun pamit dari hadapan Ghea dan Marcel.

“Aku mau urus administrasinya dulu ya,” ujar Ghea kemudian pada Marcel.

“Oke.” Marcel hanya menjawab demikian dan mengikuti langkah Ghea. Beberapa langkah Marcel tertinggal di belakang, karena Ghea berjalan cukup cepat dan Marcel memperlambat langkahnya. Marcel tengah berpikir tentang sesuatu. Entah mengapa Marcel merasa ada yang janggal dari perkataan dokter mengenai kondisi Olivia.

Selain itu Marcel meraca curiga karena ia tahu sekali bahwa Olivia tidak suka memakai sneakers, tapi hari ini perempuan itu mengenakan sneakers. Olivia menyukai high heels, bahkan disegala kondisi, Olivia akan memilih memakai heels, karena di rak sepatu Olivia hampir seluruhnya berisi sepatu berhak itu.

Marcel pun memutuskan bahwa ia akan mendapat jawabannya dengan tangannya sendiri, dan ia bertekad kuat untuk mencari tahu secepatnya.

***

Tanpa sepengetahuan Ghea, setelah Marcel mengantar perempuan itu pulang, Marcel kembali ke rumah sakit karena merasa curiga mengenai kondisi Olivia.

Marcel kemudian bertemu dengan Dokter Sarah di ruangannya. Namun Dokter Sarah mengatakan bahwa beliau tidak bisa memberitahu keadaan Olivia, karena itu adalah rahasia dan sebagai dokter ia disumpah untuk menjaga privasi pasien.

“Pak, mohon maaf sekali, saya tidak bisa memberitahu kondisi pasien yang sebenarnya. Kepada siapa pun, termasuk keluarganya. Ini adalah permintaan dari pasien, jadi saya sebagai dokter hanya menjalankan amanat dan tugas saya, sesuai dengan prosedur tenaga kesehatan,” terang Dokter Sarah.

Data pribadi pasien merupakan hak pasien dan Olivia ingin merahasiakannya. Jadi Dokter Sarah dengan berat hati tidak bisa memberi tahu keadaan Olivia yang sebenarnya.

Marcel akhirnya tidak mendapatkan apa pun. Ia keluar dari ruangan Dokter Sarah dengan perasaan yang kalut. Marcel mengkhawatirkan Olivia, tapi tidak mengetahui apa pun mengenai kondisi kekasihnya.

Namun Marcel bertekad tidak akan menyerah begitu saja. Marcel siap menghadapi apa pun yang akan menghadangnya, yang akan berusaha menjauhkannya dari Olivia. Karena bagi Marcel, yang bisa memisahkannya dengan Olivia hanyalah kematian.

***

Keesokan harinya Marcel datang lagi ke rumah sakit. Waktu menunjukkan sekitar pukul 12 siang.

Marcel menemui Olivia di ruang rawatnya. Olivia harus menjalani rawat inap, dan tentu saja hal tersebut semakin membuat Marcel curiga bahwa kondisi Olivia memang cukup serius.

Begitu Marcel sampai ke ruang rawat, ia menemukan Tania dan Carissa, kedua sahabat terdekat Olivia tengah berada di sana.

Ketiga perempuan di hadapan Marcel itu tengah menatapnya. Namun kemudian Olivia adalah yang pertama membuang pandangannya dari Marcel. Olivia mengalihkan tatapannya ke arah lain, yang jelas bukan kepada Marcel.

“Cel, sorry tapi Oliv nggak mau ketemu sama lo,” ujar Carissa.

“Ris,” Tania menegur Carissa, yang seketika membuat Carissa langsung bungkam.

Namun fakta yang dibeberkan Carissa seolah tidak dihiraukan oleh Marcel. Marcel masih berdiri di ambang pintu, meminta pada Olivia memberinya waktu untuk bicara pada perempuan itu.

Kedua tangan Olivia tanpa sadar mengepal di sisi tubuhnya. Olivia tengah berusaha mempertahankan tembok pertahanannya.

Olivia meminta Tania dan Carissa untuk tidak meninggalkannya, tapi itu tidak masalah bagi Marcel. Marcel mengatakan mereka bisa bicara tanpa kedua sahabat Olivia harus pergi dari ruangan itu.

“Liv, lo ngomong dulu berdua sama Marcel ya. Kayaknya kalian bener-bener harus bicara,” ujar Tania yang akhirnya membuat keputusan. Carissa nampak tidak setuju dengan ide Tania, tapi Tania mengisyaratkan melalui tatapan matanya. Segera Tania mengajak Carissa untuk keluar dari ruang rawat itu.

Hingga kini di ruangan itu hanya tersisa Olivia dan Marcel.

Marcel menarik kursi di samping ranjang rawat Olivia, lalu pria itu duduk di sana. Olivia masih belum mau menatap Marcel, hingga akhirnya Marcel membuka suara lebih dulu. “Tania sama Carissa udah tau ya .. ?” Marcel bertanya dengan nada yang tidak mampu Olivia artikan. Namun yang jelas, ketika Olivia akhirnya menatap Marcel, Olivia mendapati raut sedih yang terpancar di wajah Marcel dan juga bercampur rasa kecewa.

Marcel kemudian berujar lagi, “Aku tau kamu nggak baik-baik aja. Aku khawatir, tapi di satu sisi aku nggak tau apa-apa tentang kondisi kamu. Tolong, Liv, jangan biarin kamu laluin ini tanpa aku. Please, jangan dorong aku pergi dari kamu.” Marcel berucap dengan nada yang terdengar pilu, tatapannya dipenuhi kepedihan ketika menatap Olivia.

Olivia menghela napasnya, kemudian ia menghembuskannya cukup panjang. “I’m totally fine,” hanya itu yang Olivia ucapkan. 3 kata yang jelas-jelas Marcel tahu itu merupakan dusta yang besar.

Olivia lantas meminta Marcel pergi dari ruang rawatnya, tapi Marcel tetap bergeming di posisinya.

“Aku bakal tetap di sini sampai aku tau kondisi kamu. Sampai ego di hati kamu mencair,” kekeuh Marcel.

“Maksudnya .. kamu bilang aku egois?” Olivia bertanya dengan kedua matanya yang menatap Marcel dengan tatapan terluka.

“Yes. Exactly,” ujar Marcel.

Rasanya kata-kata Marcel seperti menampar Olivia. Namun Olivia masih mencoba untuk bersikap denial dengan semuanya.

“Di bagian mana aku egois, Cel? Kamu harusnya ngerti alasan aku milih buat pergi,” Olivia menjeda ucapannya sesaat. Dadanya terasa sesak karena ia tengah berusaha menahan tangis.

Marcel pun berujar, “Dengan kamu pergi dari aku, kamu egois sama diri kamu sendiri, Liv. Dengan biarin kamu sakit sendiri kayak gini, kamu nggak sadar kalau kamu udah nyakitin diri kamu, dan kamu juga nyakitin aku. Aku hancur tanpa kamu, Liv.” Bertubi-tubi Marcel mengatakannya. Semua yang Marcel rasakan setelah Olivia pergi, adalah hanya kehancuran dan malam-malam dengan mimpi yang buruk.

Olivia pun balas berujar, “Kamu harusnya tau aku cuma nggak mau bikin semuanya jadi makin runyam. Hubungan kamu sama orang tua kamu, aku nggak mau bikin semuanya tambah parah, Cel. Nggak papa aku yang pergi. Kamu bisa coba mencintai Ghea, kamu pasti bisa.”

Olivia seketika mendapati kilatan bening di kedua mata Marcel. Ada sedikit amarah di sana, tapi sepertinya rasa sakit itu lebih besar.

“We need to stop talk about Ghea, about my parents. We just need to talk about us,” putus Marcel.

“Nggak ada yang perlu kita bicarain tentang kita, Cel,” kekeuh Olivia.

“We need to talk, Olivia. I can’t love anyone beside you. I won’t to start relationship with another woman. I just wanna be with you, can you just accept it?” ucap Marcel dengan menekankan setiap kata-katanya dan netranya yang tidak lepas menatap ke arah Olivia.

Olivia terdiam tanpa bisa berpikir apa yang dapat diucapkannya lagi. Dua detik berikutnya Marcel justru mendapati Olivia menangis. Air bening itu membanjiri belah pipi kekasihnya tepat di depan matanya.

“Aku .. aku nggak mau bersikap egois kayak gini, Cel. Tapi aku juga nggak bisa milih. Aku nggak pengen pergi dari kamu, tapi aku nggak punya pilihan,” Olivia mengucapkannya sembari terisak pilu.

Marcel hanya dapat membeku di tempatnya, padahal ingin sekali dirinya merengkuh Olivia dan memeluknya.

“Aku minta maaf, aku udah bersikap egois. Aku sadar, aku salah karena nggak ngasih tau kamu sesuatu yang berhak kamu tau,” ujar Olivia lagi.

“What happen? What should I knew?” Marcel segera bertanya dengan tatapannya yang nanar menatap Olivia.

Olivia lantas mengusap air matanya. Ia berusaha mengontrol dirinya dan menatap Marcel, meski rasanya sulit untuk bertemu pandang dengan netra yang membuatnya jatuh cinta itu. Olivia ingin lari ke pelukan itu, tapi ia tidak bisa.

Marcel masih menunggu Olivia untuk mengatakannya.

“Aku hamil,” ungkap Olivia akhirnya.

Dua kata yang diucapkan Olivia itu sukses membuat Marcel terpaku dan kehilangan kata-katanya. Marcel hanya menatap Olivia lurus-lurus. Kedua mata Marcel pun membeliak. Marcel tampak tidak percaya dengan yang barusan didengarnya, tapi detik berikutnya pria itu tidak sanggup menahan senyum terharunya.

Marcel kemudian meraih tangan Olivia dan menggenggamnya erat.

Olivia menatap tangan Marcel yang tengah menggenggam tangannya, lalu Olivia hendak melepas tangannya dari genggaman Marcel. Namun Marcel beegrak menahannya, tidak membiarkan Olivia melakukannya.

“Don’t leave me again. Please, I’m begging to you,” Marcel berucap dengan nada memohon.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Arsen memberitahu Marcel bahwa kemungkinan Marcel bisa bertemu dengan Olivia di butik. Ada kemungkinan bahwa Olivia telah kembali dan menjadi desainer yang akan merancang gaun untuk Ghea, skelaigus juga membuat tuxedo untuk Marcel di hari pernikahannya.

Hari ini memang merupakan jadwal Marcel dan Ghea untuk bertemu dengan desainer yang merancang pakaian untuk resepsi. Alamat butik tempat desainer itu adalah alamat butik milik Olivia.

Marcel pun segera beranjak dari posisinya dan tidak memikirkan apa pun lagi untuk pergi ke butik itu. Arsen memberitahu Marcel sebuah informasi lain yang mengejutkan, bahwa Olivia dan Ghea memiliki hubungan keluarga, yakni keduanya adalah saudara sepupu.

“Sen,” ujar Marcel tepat begitu Arsen menghentikan mobil di depan sebuah tempat yang jelas sangat familiar bagi Marcel. Jelas, karena tempat itu merupakan butik milik Olivia.

“Gue pengen ketemu Oliv, tapi semuanya kayak percuma aja,” ujar Marcel dengan tatapan kosongnya.

“Maksud lo?” Arsen bertanya.

“Emangnya gue bisa masuk ke sana, terus gue bilang ke Ghea kalau Oliv itu pacar gue, dan gue pengen batalin pernikahan karena gue cinta sama Oliv, bukan orang lain.”

Arsen kembali menghembuskan nafas panjangnya mendengar kalimat Marcel. Sepertinya ia harus banyak-banyak bersabar. “Lo cinta boleh, tapi jangan jadi goblok,” ujar Arsen akhirnya.

“Lo bilang apa? Lo ngatain gue barusan?” cetus Marcel.

“Iya, gue ngatain lo. Itu bukan gaya lo banget, Bos. Inget, lo itu pinter. Lo lulusan S2 Havard, anjir. Sekarang lo masuk ke sana bukan untuk bilang kalau lo nggak akan nikah sama Ghea dan lo cuma cinta sama Oliv. Tapi lo masuk ke sana buat cari tau, Oliv bener ada di sana atau engga. Oliv beneran udah balik atau engga. Katanya lo cinta sama Oliv, menurut gue ini saatnya lo berjuang kalau lo emang mau perjuangin dia.”

Perlahan akhirnya Marcel mengangguk dan setuju dengan Arsen. Marcel pun mengakui bahwa beberapa detik lalu, dirinya telah berpikir dengan begitu bodoh. Jelas itu sama sekali bukan gayanya. Ke mana Marcel yang pantang menyerah dan bisa menyusun strategi dengan baik dalam mendapatkan sesuatu?

“Oke. Gue bakal masuk ke sana untuk tau dulu situasinya. Habis itu gue bakal susun strategi,” ujar Marcel memutuskan.

“Strategi untuk apa?” Arsen bertanya.

“Yaa strategi untuk bikin Oliv balik lagi sama gue dan gue bakal perjuangin dia. Gue nggak mau nikah sama perempuan lain, kecuali itu Oliv,” ujar Marcel.

Baiklah. Arsen kini sungguh percaya bahwa cinta dapat membuat seseorang menjadi hampir gila dan kadang bisa sedikit bodoh. Bahkan Marcel yang notabenenya pintar dan jenis di mata Arsen selama ini, bisa seketika dibuat terlihat bodoh hanya karena cinta.

***

Marcel melangkahkan kaki panjangnya memasuki bangunan dengan nuansa putih dan krem yang sudah sangat fameliar baginya.

Ketika Marcel sudah membawa dirinya masuk, pandangannya lekas hanya tertuju pada satu orang. Olivia sungguh ada di sana. Marcel melihat kembali sosok yang rasanya begitu ia rindukan. Namun Marcel tidak bisa membawa tubuh itu untuk ia dekap, untuk menebus semua rasa rindunya.

Secara nyata, kini kedua netra Marcel mendapati sosok Olivia, sosok yang telah memiliki hatinya itu berjarak tidak jauh dari posisinya berdiri saat ini.

Kehadiran Marcel di butik itu lekas sadari oleh Ghea. Ghea yang sebelumnya tengah mengobrol dengan Olivia, segera berjalan menghampiri Marcel, lalu membawa Marcel untuk bertemu dengan Olivia.

“Tadi asisten kamu bilang, katanya kamu nggak bisa dateng?” Ghea bertanya pada Marcel, tanpa perempuan itu tahu bahwa Marcel tidak fokus pada pertanyaannya dan justru tengah menatap ke arah Olivia.

“Cel?” Ghea berujar lagi, lekas Marcel pun tersadar.

“Eh iya. Sorry. Kenapa?” Marcel kini mengalihkan tatapannya pada Ghea.

“Oh, nggak papa, nggak terlalu penting. Yang penting sekarang kamu udah di sini. Oh iya, aku mau ngenalin kamu ke Kak Oliv. Kak Oliv ini Kakak sepupuku dari keluarga Papaku,” ujar Ghea yang langsung mengenalkan Marcel dengan Olivia.

Seketika Marcel dan Olivia saling bertukar pandang. Lebih tepatnya dari tadi Marcel sudah menatap Olivia, tapi baru saat ini Olivia akhirnya menatap ke arah Marcel.

Olivia kemudian lebih dulu mengulurkan tangannya kepada Marcel, bersikap seolah perempuan itu tidak mengenal Marcel. Dari cara Olivia menatapnya, Marcel tahu Olivia tengah berusaha keras berakting bahwa ia tidak mengenal Marcel. 2 orang karyawan Olivia di sana juga tampak tidak mengenali Marcel, padahal mereka sebelumnya jelas tahu bahwa Marcel adalah kekasih atasan mereka.

Marcel akhirnya menyambut uluran tangan Olivia, tangan mereka pun saling berjabatan.

“Olivia,” Olivia berujar menyebutkan namanya.

“Marcel,” ucap Marcel.

Hanya dua detik jabatan tangan itu terjadi, kemudian Olivia segera menarik tangannya agar terlepas dari Marcel.

Setelah itu Olivia mengajak kliennya, yakni Ghea dan Marcel untuk mendiskusikan pakaian yang akan Olivia rancang untuk dipakai di hari pernikahan dua sejoli itu.

Olivia berakting dengan begitu bagus, bahkan karyawannya juga. Sampai-sampai Marcel dibuat tercengang dan hanya menatap nanar kepada Olivia.

Perasaan Marcel campur aduk. Ternyata sesakit ini rasanya mendapati seseorang yang kamu cintai berada di hadapanmu, tapi kamu sama sekali tidak bisa menggapainya. Sepertinya takdir memang tidak merestui mereka untuk bersama.

***

Sebelumnya Ghea telah menyampaikan keinginannya terkait model gaun pernikahannya kepada Olivia, yang akhirnya kemarin sudah sempat Olivia buatkan sketsanya.

“Jadi sesuai yang kamu pengen untuk gaunnya, biar kesan anggun dan femininnya terlihat, nanti dibagian bahu aku akan buat bentuk sabrina kayak ballgown-nya Cinderella. Untuk bahannya aku buat full payet nantinya, jadi kesan glamnya juga dapet. Seperti ini kira-kira gambarannya, silakan kamu liat dulu,” jelas Olivia pada Ghea.

Olivia pun mengeluarkan sketsa rancangannya dan tengah menunjukkannya kepada Ghea.

Olivia lalu juga mempresentasikan sketsa untuk tuxedo yang warnanya akan dibuat senada. Tuxedo itu nantinya akan dikenakan oleh Marcel pada saat acara resepsi. Warna yang dipilih Ghea adalah broken white, dan Ghea memang ingin warna gaunnya selaras dengan pakaian pengantin prianya.

Sedari tadi Olivia menjelaskan, Marcel sama sekali tidak bisa fokus dan mendengarkan penjelasan tentang rancangan yang dibuat oleh Olivia. Semuanya seperti masuk ke telinga kanannya, lalu keluar melalui telinga kirinya.

Selama Olivia mempresentasikan prototype desainnya di hadapannya dan juga Ghea, Marcel secara sengaja tidak melepaskan pandangannya dari Olivia.

Hal tersebut jelas disadari oleh Olivia, membuat perempuan itu nampak khawatir dan tidak nyaman akan itu. Olivia takut bahwa Ghea akan menyadari kelakuan Marcel yang sedari tadi terus menatap ke arahnya.

“Oh iya, Ghea. Kebetulan aku ada contoh gaun yang mirip kaya sketsa ini. Kalau mau fitting dulu, bisa dicoba. Gimana?” Olivia menawarkannya pada Ghea, agar Ghea dapat gambaran kira-kira seperti apa pakaian yang nanti digunakan.

“Boleh banget Kak kalau gitu. Aku mau ya. Kalau untuk tuxedo-nya ada juga ngga Kak?” Ghea langsung menyambut tawaran itu dengan antusias.

“Ada kok,” Olivia menjawab dan segera meminta karyawannya untuk mengambilkannya.

Kemudian tidak lama kemudian, 2 orang karyawan di butik itu membawakan sepasang pakaian yang tampak begitu menawan. Sebuah gaun dengan bahu berbentuk sabrina dan penuh payet akan dicoba dikenakan oleh Ghea. Serta satunya lagi adalah sepasang tuxedo dan celana bahan panjang untuk sang calon pengantin pria, yang sepertinya tampak pas ukurannya untuk Marcel. Tuxedo itu nampaknya cocok untuk tubuh tegap dan jangkung Marcel.

Dengan langkah beratnya, Marcel akhinya membawa dirinya untuk ke ruang ganti. Marcel akan mengganti stelannya dengan tuxedo itu di salah satu bilik ruangan fitting. Sedangkan Ghea akan dibantu menggunakan gaun itu bersama Olivia dan karyawan butiknya.

Marcel rupanya telah selesai lebih dulu beberapa menit kemudian. Pria itu lekas membawa dirinya kembali ke tempat semula.

Marcel mendapati Ghea tengah mengenakan gaun yang cantik itu. Namun tatapan Marcel tidak juga bisa tertuju pada calon mempelai wanitanya. Melainkan netranya menatap pada sosok di samping Ghea yang tengah membantu perempuan itu dengan gaunnya.

Ghea kini sudah selesai dengan gaunnya. Ghea kemudian melangkah mendekat pada Marcel. Ghea berdiri di samping Marcel dan keduanya menghadap pada kaca full body yang ada di hadapan mereka.

Marcel diam saja di sana tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Marcel mendapati Olivia menatapnya dan Ghea. Kekasihnya menatapnya dengan perempuan lain dan tengah tersenyum. Namun Marcel tahu itu adalah sebuah senyum kepedihan dan terlihat menyakitkan.

Benar. Olivia tersenyum, tapi hatinya terasa sungguh sakit. Kedua lulutnya seketika lemas, rasanya seperti jelly. Olivia baru akan melangkah untuk mencapai kursi, ia ingin duduk karena rasanya sulit bagi kedua kakinya untuk menopang tubuhnya.

Namun belum sempat sampai Olivia menjangkau kursi di depan matanya, tubuhnya yang terasa lemas hampir saja ambruk, kalau saja karyawannya tidak segera memegang lengannya.

“Bu, Ibu nggak papa?” ujar Lia yang tengah menopang tubuh Olivia. Sontak kejadian itu mengundang perhatian Ghea, dan terlebih Marcel yang langsung serta merta menatap ke arah Olivia. Olivia pun mendapati tatapan khawatir itu dari kedua netra Marcel.

Tidak, Olivia tidak boleh jatuh saat ini. Dirinya harus kuat, agar Marcel tidak mengetahui kondisinya.

“Saya nggak papa, Lia,” ucap Olivia yang lekas mencoba untuk berdiri sendiri tanpa bantuan Lia. Namun Lia rupanya tidak melepas Olivia, karena karyawannya itu tahu soal keadaannya yang tengah mengandung.

Lia baru akan membopong Olivia ke kursi, tapi yang terjadi justru semakin parah. Olivia terjatuh pingsan dan segera mengundang perhatian semua orang yang ada di sana.

Terdengar sayup-sayup suara Lia memanggil nama Olivia, yang masih bisa didengar Olivia. Namun di antara semua suara yang memanggilnya itu, Olivia mendengar sebuah suara yang begitu fameliar baginya.

Itu adalah suara Marcel yang memanggil namanya secara spontan, seolah pria itu telah mengenal Olivia dan begitu khawatir mendapati Olivia terjatuh di depan matanya.

Setelah mendengar suara Marcel itu, Olivia benar-benar pingsan dan menutup matanya. Hingga kini semuanya tampak gelap bagi Olivia dan ia tidak mendapati apa pun lagi.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Perjodohan berkedok pernikahan bisnis yang telah direncanakan orang tuanya sejak lama, sebenarnya tidak pernah mendapat persetujuan dari Marcel.

Marcel telah menolaknya. Namun orang tuanya tetap mempersiapkan pernikahan tanpa memedulikan perasaannya. Marcel merupakan korban dari keegoisan orang tuanya. Sejak kecil hingga beranjak remaja, Marcel sebenarnya sadar bahwa hidupnya bukanlah miliknya. Marcel adalah pewaris tunggal karena ia merupakan putra sematawayang orang tuanya. Maka segala yang Marcel miliki dalam hidupnya, yakni harta, tahta, dan privilege, disadrinya tidak semata Marcel dapatkan tanpa imbalan. Di dunia ini memang tidak ada yang gratis, bukan?

Bertahun-tahun Marcel telah hidup dalam tekanan dan penderitaan. Marcel ingin keluar dan berhenti dari semua rasa sakit itu. Maka yang perlu Marcel lakukan adalah mendapatkan kebahagiaannya, meski itu harus menentang keputusan orang tuanya.

Pernikahan semakin dekat, segala persiapan dilakukan oleh kedua keluarga. Namun Marcel kerap menghindar dari segala yang berurusan dengan pernikahannya. Ia menyuruh asistennya untuk mengurus pernikahannya. Dengan alasan pekerjaan, Marcel sebisa mungkin tidak ingin ikut andil dalam mempersiapkan urusan pernikahannya.

Siang ini Marcel berada di ruang kerjanya. Marcel melirik layar ponselnya untuk yang kesekian kali. Oh, tidak. Kebiasaan tersebut sudah terjadi begitu saja. Marcel lakukan secara berulang akhir-akhir ini. Marcel yang sebelumnya terbilang jarang mengecek ponselnya, kini jadi lebih sering melakukannya. Semata Marcel lakukan karena hanya ingin memastikan apakah seseorang yang ia rindukan menghubunginya, atau ada kabar baik dari orang suruhannya yang ia minta untuk mencari keberadaan kekasihnya.

Marcel memutuskan kembali fokus pada layar ipadnya setelah tidak menemukan pesan yang diharapkannya. Hari ini Marcel tetap bekerja ke kantor meski sebenarnya kondisi tubuhnya belum sungguhan membaik. Marcel kemarin mendapat penanganan dari dokter karena tubuhnya yang tiba-tiba drop. Namun karena masih ingin bekerja, jadinya Marcel bekerja sambil mendapati selang infus di tangannya.

Baru beberapa detik Marcel kembali pada pekerjaannya, tiba-tiba layar ponselnya menyala, menandakan ada sebuah pesan yang baru saja masuk.

Marcel segera mengambil ponselnya dan melihat layarnya. Begitu melihat ID name di sana, Marcel segera menghembuskan nafasnya, tanda bahwa ia tampak kecewa karena pesan itu bukan dari seorang yang ia harapkan.

Pesan tersebut dari Ghea, perempuan yang dijodohkan dengannya. Marcel tidak berniat membalas pesan itu, lantas hanya membiarkannya masuk ke ponselnya, tapi juga tidak dibaca.

Dua detik berikutnya, sebuah telfon masuk ke ponselnya, rupanya itu adalah dari Ghea. Marcel tidak mengangkat panggilan itu, ia mengabaikannya begitu saja dan memilih untuk tetap fokus pada ipadnya.

Marcel tampak tidak terganggu dengan dering ponsel itu. Sama seperti hatinya yang seperti sudah mati dan beku, rasanya tidak bisa terbuka untuk perempuan lain. Hanya ada satu orang yang telah memilikinya, dan itu bukanlah perempuan yang kini tengah berusaha menghubunginya.

Hingga 3 kali panggilan itu tidak dijawab oleh Marcel, akhirnya Ghea tidak lagi menghubunginya.

Marcel pikir semuanya telah selesai, tapi rupanya tidak. Pintu ruangannya di ketuk dan Marcel segera mendapati Arsen di ambang pintu.

“Bos, lo nggak angkat telfonnya Ghea?” Arsen bertanya to the point.

“Kenapa emangnya?” Marcel justru balik bertanya, membuat Arsen menghembuskan nafasnya.

“Ghea barusan nelfon ke nomor kantor, terus diangkat sama Andra. Dia nanya kenapa lo nggak angkat telfonnya,” terang Arsen.

“Andra tau kan harusnya dia bilang apa ke Ghea?” sahut Marcel cepat.

Arsen mengangguk, tapi kemudian lelaki itu berujar lagi. “Tapi hari ini Ghea mau ngajak lo ketemu sama desainer yang bakal ngerancang baju resepsi pernikahan.”

“Bilang aja gue nggak bisa dateng, gue ada meeting atau apa pun itu. Andra udah tau harus gimana hadapin situasi ini. Lo juga tau kan, kalau gue nggak mau turun tangan,” ujar Marcel.

“Tapi lo nggak bisa menghindar kayak gini terus,” ucap Arsen. Arsen tahu mungkin Marcel akan kesal dengan apa yang ia ucapkan, tapi bagaimana pun Arsen tidak bisa membiarkan Marcel terus seperti ini.

“Lo harus tau satu hal dan ini penting,” ucap Arsen akhirnya. Arsen sebenarnya sudah tau, tapi memang belum memberitahu Marcel tentang hal yang diketahuinya itu.

“Apa?” Marcel menyahut dengan tampang tanpa ekspresi. Arsen pun berpikir bahwa bosnya itu sudah seperti manusia yang telah kehilangan separuh nyawanya, lebih tepatnya sejak kepergian seorang perempuan di hidupnya.

“Kemungkinan lo bisa ketemu sama Oliv. Kemarin waktu lo nggak dateng ke rapat buat bahas rencana pernikahan lo, gue sama Andra dapet info penting dari WO yang ngurus di sana. Lo harus tau, alamat butik yang bakal Ghea datengin, itu alamat butiknya Oliv,” terang Arsen panjang lebar.

Mendengar penurutan itu, Marcel segera meminta Arsen mengatakannya sekali lagi.

Lekas Arsen berujar lagi untuk menjelaskan sejelas-jelasnya. “Dengerin gue. Jadi desainer yang Ghea minta buat bikini gaun resepsi, kemungkinan desainer itu Oliv. Karena alamat butik yang gue dapetin, itu adalah alamat butiknya Oliv. Lo yakin nih lo nggak mau ke sana?”

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Bandara

Bandara International Changi Singapore pagi ini tampak tidak terlalu lengang. Di sana terlihat beberapa orang yang berlalu lalang. Sekitar pukul 6 pagi waktu Singapura, Olivia telah tiba di bandara untuk melakukan check in dan kemudian menunggu keberangkatan pesawatnya.

Olivia menunggu di waiting room yang disediakan setelah melewati gate 3 untuk keberangkatan luar negeri.

Olivia membawa dirinya untuk duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tunggu itu. Masih sekitar 1 jam lagi pesawatnya akan take off. Jadi Olivia dan penumpang lainnya yang punya keberangkatan sama, harus menunggu di sana.

Olivia menatap ke sekelilingnya. Matanya berpendar dan mengamati orang-orang di sekitarnya. Di antara banyaknya manusia di sana, hanya beberapa yang tampak sendiri, sama seperti dirinya. Kebanyakan dari mereka tidak sendiri. Ada yang bersama keluarga kecilnya, ada yang hanya berdua yang tampaknya merupakan sepasang kekasih, dan ada yang hanya bersama orang tua mereka atau pun teman.

Mungkin setiap orang memang ditakdirkan untuk bersama, atau mungkin juga tidak. Kadang takdir bisa terasa kejam dan tidak adil. Orang yang saling menyayangi, belum tentu bisa bersama.

Tempat di mana Olivia berada saat ini, yakni bandar udara, menjadi saksi dari pertemuan atau bahkan perpisahan. Bahwa artinya di hidup ini, pertemuan tidak selalu berakhir dengan kebersamaan yang hakiki. Maka ada yang namanya perpisahan.

Sekilas Olivia tersenyum getir, lalu ia mengalihkan tatapannya pada langit biru melalui dinding kaca besar di waiting room itu.

Bandara 2

Di dalam hidup ini, Olivia tahu beberapa hal tidak bisa dimiliki. Namun jika begitu adanya, Olivia ingin memohon kepada Tuhan, agar ia bisa melupakan sosok itu. Olivia ingin melupakan sosok pria yang dicintainya, yang rasanya begitu sulit Olivia singkirkan dari pikirannya.

Olivia memutuskan membuka ponselnya karena ia baru teringat bahwa dirinya harus melakukan sesuatu. Olivia pun membuka akun Instagramnya dan ia mengarsipkan foto-fotonya kebersamaannya dengan Marcel. Olivia sebelumnya berpikir akan menghapusnya, tapi nyatanya ia tidak sanggup. Lebih tepatnya, Olivia belum sanggup untuk menghilangkan semua jejak itu. Jadi pilihan untuk mengarsipkannya adalah yang terbaik. Ketika nanti Olivia merasa rindu akan momen-momen mereka, Olivia masih bisa melihatnya dan mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Marcel.

Semalam Olivia telah mencari tahu semuanya, setelah Ghea memberitahu identitas pria yang akan menikah dengannya.

Olivia memang telah lama tidak berkontak dengan Ghea. Hubungan Olivia dan keluarga Omnya sebenarnya baik-baik saja. Namun sejak Olivia memutuskan tinggal mandiri, keluarga Omnya memang jarang menanyakannya, padahal Olivia masih kerap kali mencoba menghubungi mereka.

Keluarga Om dan Tantenya tinggal di luar negeri, lebih tepatnya sejak Ghea berkuliah di luar negeri 4 tahun yang lalu. Kemudian baru 2 bulan belakangan—sebelum Olivia mengenal Marcel—Tantenya memberitahu bahwa Ghea dijodohkan dan akan segera menikah. Namun Olivia belum diberitahu siapa sosok yang akan menikah dengan adik sepupunya.

Kini semuanya tampak jelas di mata Olivia.

Kakeknya Ghea merupakan seorang pengusaha yang memiliki relasi bisnis dengan orang tua Marcel. Kedua keluarga telah merencanakan pernikahan untuk mempersatukan dua keluarga, tentunya untuk mengembangkan bisnis dan menjalin hubungan mitra yang baik secara berkelanjutan.

Papanya Ghea merupakan adik dari almarhumah Mamanya, jadi Olivia dan Ghea adalah saudara sepupu. Sementara Mamanya Ghea merupakan anak dari seorang pengusaha kaya raya. Ghea merupakan cucu tertua yang akan menyambung hubungan mitra bisnis keluarganya.

Olivia sudah terlanjur mengatakan pada Ghea bahwa dirinya akan merancang gaun pernikahan untuk sepupunya. Setelah Olivia tahu siapa pria yang akan menikah dengan Ghea, rasanya Olivia tidak sanggup melanjutkan janjinya. Namun Olivia kembali berpikir, rasanya tidak mungkin juga Olivia membatalkan janjinya kepada Ghea untuk membuatkan gaun pengantin. Olivia tidak ingin membuat Ghea kecewa. Lagi pula tanggal pernikahan tinggal menghitung bulan, mungkin akan sulit untuk menemukan desainer pengganti.

Olivia ingin menghindar, tapi tidak mungkin selamanya ia bisa menghindar, bukan? Bagaimana bisa, Olivia tidak hadir di hari penting adik sepupunya dan terlibat di sana?

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Siang ini Olivia mendapati Marcel dan Mikayla di depan pintu apartemennya. Sebenarnya sebelumnya Marcel telah mengabari Olivia bahwa dirinya dan Mikayla akan datang. Namun Olivia tidak menduga bahwa Marcel akan datang secepat ini, yakni kurang dari satu jam setelah pria itu mengabarinya lewat chat.

Mikayla masih mengenakan seragam sekolahnya dan menggendong tas ransel bergambar little pony-nya. Perempuan kecil itu mengulaskan senyum lebarnya ke arah Olivia.

“Hai, Mommy.” Olivia mendapati lagi suara lembut itu memanggilnya.

“Hai, Princess. Ayo masuk,” Olivia lekas meraih tangan Mikayla, mengajak gadis kecil itu untuk memasuki kediamannya.

“Mikayla katanya mau ketemu sama kamu,” terang Marcel seolah dapat menebak apa yang ada di benak Olivia.

“Emang iya Nak?” Olivia lalu bertanya pada Mikayla.

“Daddy yang ajakin ke rumah Mommy. Daddy tadi jemput Mikayla di sekolah,” terang Mikayla dengan begitu jujurnya.

“Tapi kamu mau ketemu Mommy juga, kan?” ujar Marcel.

“Ya mau. Aku kangen Mommy juga.”

“Alright,” Olivia mengulaskan senyum lembutnya, lalu ia sekilas mengusap puncak kepala Mikayla.

“Mikayla udah makan Nak?” Olivia bertanya.

“Belum, Mommy. Tadi Daddy cepet-cepet ajak ke sini.”

“Kita pesen makanan aja. Kan kita mau makan bertiga,” ujar Marcel yang langsung mengeluarkan ponselnya untuk memesan sesuatu dari aplikasi online.

Sementara Marcel tengah memesan makanan, Olivia mengajak Mikayla untuk mengganti pakaian, agar gadis itu nyaman tidak menggunakan seragam sekolahnya. Mikayla membawa baju ganti di tasnya, membuat Olivia berpikir tentang suatu hal. Sepertinya Marcel memang telah berencana akan datang ke apartemennya bersama Mikayla, sepulangnya Mikayla dari sekolah.

***

Mikayla tampak antusias dan bahagia ketika mereka makan bersama dan mengobrol tentang hal-hal ringan. Marcel yang mendapati putrinya terlihat ceria hari ini, ikut mengulaskan senyumnya juga karena dirinya merasa bahagia. Rasanya sudah lama Marcel tidak melihat Mikayla sebahagia ini.

Marcel menoleh ke sampingnya, di mana Olivia duduk di sana. Marcel mendapati senyum semringah yang selalu tampak cantik di wajah itu. Marcel lantas menggenggam tangan Olivia di atas meja, membuat Olivia menoleh dan kini menatap padanya. Melihat aksi kedua orang di depannya, Mikayla segera teralihkan atensinya. Gadis kecil itu kini menatap pada tangan Marcel dan Olivia yang tertaut.

Marcel beralih menatap anaknya, lalu ia berujar, “Kalau Mikayla udah besar nanti, kalau ada cowok yang pegang tangan kamu kayak gini, jangan dibolehin ya. Bilang ke Daddy, karena Daddy harus tau dulu apa maksudnya.”

“Kalau cowok itu temennya Mikayla gimana?” celetuk Mikayla.

“Nak, nggak ada temen lawan jenis yang pegang tangan kamu kayak gini. Kecuali dia berani ketemu Daddy buat minta kamu jadi pacarnya,” tutur Marcel.

Mendengar penuturan itu, Olivia lekas berujar. “Daddy ngomongnya kejauhan ya, Nak? Belum saatnya dia tau, masih terlalu jauh,” Olivia menatap Marcel sembari mengatakannya.

“Iya, aku tau. Tapi harus mulai dikasih tau dari sekarang, Sayang. Harus bisa bedain, mana yang temen, mana yang mau macem-macem,” terang Marcel.

“Alright, Daddy,” ujar Olivia yang lekas menerbitkan sebuah senyum di wajah Marcel.

“Tuh Nak, denger kan? Mommy juga setuju sama Daddy.”

“Oke, Daddy,” ucap Mikayla akhirnya meski sebenarnya bocah itu tidak terlalu paham maksud nasihat yang diutarakan oleh Marcel.

***

Setelah makan siang, Marcel, Olivia, dan Mikayla menonton tayangan kartun di TV di ruang tamu. Selama kurang lebih dua jam menonton, akhirnya Mikayla merasa mengantuk.

Marcel berhasil menidurkan Mikayla sampai lelap di dekapannya. Kemudian Marcel menggendong Mikayla untuk diletakkan di satu kamar lagi yang ada di apartemen Olivia.

Setelah memastikan Mikayla nyaman dengan tidurnya, Marcel dan Olivia meninggalkan kamar itu dan menutup pintunya.

Marcel dan Olivia lantas melangkah menuju kamar yang satunya lagi. Mereka akan beristirahat juga sejenak. Setelah nanti Mikayla bangun, Marcel mengatakan ia baru akan pulang.

“Udah lama aku nggak ngeliat Mikayla keliatan bahagia kayak tadi,” ujar Marcel begitu dirinya dan Olivia telah berbaring di atas kasur, posisi mereka aling berhadapan dan menatap lurus satu sala lain.

“Ohya?” Olivia bertanya.

“Hmm.” Marcel bergerak sedikit dari posisinya, ia melonggarkan pelukannya pada torso Olivia, agar bisa sepenuhnya menatap kekasihnya.

“She’s look very happy, feels like she’s found a home,” ucap Marcel.

Olivia otomatis tersenyum mendengarnya. “You are already her home.”

“Yes. She has me, but I feel like I don’t have my home before I met you,” ujar Marcel dengan nadanya yang terdengar agak getir.

“Aku sadar sekarang, gimana caranya aku bisa ngasih rumah dan kebahagiaan buat Mikayla, kalau aku sendiri nggak punya kebahagiaan itu,” ucap Marcel. Rasanya kini semua tampak jelas. Selama ini Marcel mencari kebahagiannya, tapi ia belum merasa benar-benar menemukannya. Setelah bertemu Olivia, barulah Marcel menemukan definisi rumah dan kebahagaian untuknya.

“Babe,” ujar Olivia.

“Iya?”

“Hari ini bukannya kamu bilang, kamu mau ke acara keluarga besar kamu?” Olivia bertanya, karena pasalnya Marcel tidak jadi menghadiri acara keluarganya itu.

“Tadinya iya. Tapi aku lebih pengen spend time bareng kamu, sama Mikayla juga,” ujar Marcel.

Masih sambil menatap Marcel, Olivia kemudian berujar lagi, “Babe, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?”

“Boleh. Kamu mau tanya apa?”

“Kenapa kamu milih tinggal sendiri sama Mikayla? I mean, di rumah kamu yang sebesar itu, bukannya Mikayla bakal lebih ngerasa kesepian kalau kamu lagi kerja, kalau kamu lagi nggak ada di rumah.”

Marcel tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Seolah pertanyaan Olivia barusan seperti sebuah soal ujian yang jawabannya sulit untuk ia dapatkan.

“Babe, sebenarnya hubungan aku sama Papa dan Mamaku kurang baik. Lebih tepatnya itu sejak mereka minta aku buat menikah sama almarhum Mamanya Mikayla,” terang Marcel.

Ketika Marcel mengatakannya, Olivia mendapati sebuah luka yang terpancar jelas dari kedua mata itu.

Sejak mamanya Mikayla meninggal, Marcel mengatakan bahwa dirinya telah memutuskan untuk tinggal terpisah dengan orang tuanya. Padahal sebenarnya mereka bisa tinggal bersama, agar Mikayla tidak merasa kesepian. Namun Marcel tetap teguh pada pendiriannya, bahwa ia ingin tinggal mandiri dan hanya bersama dengan anaknya saja.

Babe, aku berhak kan untuk milih apa yang bikin aku bahagia?” Marcel bertanya, yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Namun perlakuan orang tuanya telah berkali-kali berhasil membuatnya ragu. Marcel kerap kali mempertanyakan, apakah ia pantas memilih apa yang membuatnya bahagia atau justru tidak?

“Kamu berhak untuk itu,” ucap Olivia dengan suaranya yang terdengar sedikit bergetar. Perasaan Olivia jadi campur aduk ketika mendapati luka itu di diri Marcel. Olivia memang tidak secara langsung merasakan luka itu, tapi melihat orang yang disayanginya terluka, hatinya ikut terasa hancur.

“Babe,” ujar Marcel, suaranya terdengar sedikit parau. Sepertinya pria itu tengah menahan gejolak rasa sedih, kecewa, dan juga amarah yang kini menjadi satu.

“Iya?”

“I just wanna be with you,” ujar Marcel.

Marcel memandangi wajah Olivia dengan lekat, lalu satu tangannya terangkat untuk mengusap pipi Olivia yang sedikit gembil. “I chose you, and it’s always you, Olivia,” ujarnya.

Olivia lekas hanyut ke dalam tatapan hangat dan penuh afeksi itu. Olivia kemudian mengulaskan senyum terharunya.

Ketika kamu merasa diinginkan, dibutuhkan, bisa menjadi rumah untuk seseorang, dan menjadi sosok yang selalu akan dipilih olehnya, rasanya tidak ada yang lebih baik dari pada itu.

Bukan hanya Olivia yang merasa telah menemukan rumahnya, tapi Marcel juga telah menemukan rumah ternyamannya. Olivia ingin selamanya menjadi rumah untuk Marcel, dan juga menjadikan lelaki ini sebagai rumahnya.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Sosok pria idaman memiliki makna yang berbeda di mata setiap perempuan. Begitu juga dengan Olivia, ia memiliki kriteria idaman untuk pasangannya, tentang bagaimana pria yang ingin nikahi kelak dan menghabiskan sisa waktunya di dunia untuk bersama.

Sejak kedua orang tuanya berpisah, Olivia berpikir bahwa menjalani pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Papanya adalah gambaran pria idaman di matanya, tapi seiring waktu, semuanya tampak berubah. Ego lebih besar dan menguasai, mengalahkan rasa cinta. Papanya yang katanya begitu mencintai Olivia, memilih tidak bertemu dengannya, karena lebih mengedepankan ego. Papa dan Mamanya memang telah bercerai, tapi Olivia tahu bahwa ada yang tidak pernah selesai di antara mereka. Masih ada rasa marah, kecewa, dan bahkan dendam yang berakhir membuat keduanya dikuasi oleh ego.

Olivia tidak mempunyai contoh figur pria idaman sejak ia kehilangan sosok Papanya. Olivia kehilangan peran seorang Ayah dalam hidupnya, yang kemudian membuatnya tidak tidak tahu bagaimana gambaran pria idaman yang ia inginkan untuk kelak hidup bersama selamanya.

Maka banyak pertimbangan bagi Olivia, dan ia selalu bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia siap untuk menikah? Apakah ia siap memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk orang itu, untuk selamanya? Namun sejak Olivia bertemu dengan Marcel dan menjalin hubungan, Olivia merasa perlahan ia memiliki gambaran pria idaman tersebut. Marcel tampak sempurna dari segala aspek, tampan, mapan, romantis, dan begitu baik memperlakukannya, tapi sebenarnya semata bukan tentang itu. Sesempurna apa pun seorang lelaki, jika kamu tidak nyaman menghabiskan waktu dan mengobrol bersamanya, bagi Olivia itu akan percuma saja untuk hubungan jangka panjang.

Olivia menyudahi pikiran monolognya. Ia memutuskan kembali membaur dan mengobrol dengan para orang yang ada di meja makan bundar yang besar itu.

Malam ini Olivia kembali menemani Marcel untuk business trip. Mereka terbang mendadak dengan private jet kemarin malam.

Para kolega bisnis yang hadir di jamuan makan malam itu, juga membawa istri mereka, karena usia mereka rata-rata berada cukup jauh di atas Marcel. Jadi bisa dibilang bahwa Marcel salah satu pengusaha termuda yang hadir ke acara itu.

Olivia menyesap pelan minuman di gelas beningnya. Kemudian Olivia meletakkan gelasnya kembali ke meja, begitu seseorang baru saja datang dan tengah menyapa Marcel.

“Senang berbisnis dengan Anda, Pak Marcel,” ujar seorang pria yang kira-kira berusia 50 tahunan sambil berjabat tangan dengan Marcel.

“Senang juga bisa berbisnis dengan Anda, Pak Rio,” balas Marcel. Setelah jabatan tangan itu, pria paruh baya itu memperkenalkan istrinya. Begitu juga setelahnya Marcel mengenalkan Olivia. Marcel menghela pinggang ramping Olivia begitu mengenalkan sosok kekasihnya itu, bahkan menyebut Olivia sebagai calon istrinya.

“Segera ditunggu undangan pernikahannya, Pak Marcel,” ujar Rio sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Marcel dan Olivia.

Setelah perkenalan singkat itu, Marcel kembali duduk di kursinya, begitu juga Olivia yang duduk di samping Marcel.

Tidak lama berselang, Olivia tiba-tiba berujar pelan di dekat Marcel. “Babe, aku ke toilet dulu sebentar ya.”

Marcel tadinya berniat menemani Olivia ke toilet, tapi Olivia mengatakan bahwa ia bisa pergi sendiri. Lagipula Marcel harus bertemu dengan kolega-kolega bisnisnya.

“Nggak papa Babe, aku sendiri aja,” ujar Olivia.

“Oke. Kamu hati-hati, ya.”

Olivia mengangguk sekali, lalu ia segera beranjak dari kursinya dan meninggalkan meja.

Olivia melewati beberapa meja dan orang-orang yang memenuhi ballroom hotel itu. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Olivia sampai di toilet. Olivia menemukan salah satu bilik toilet yang kosong dan segera membawa dirinya masuk ke sana.

Olivia berada di bilik toilet itu selama beberapa detik. Selang beberapa saat kemudian, ketika Olivia hampir selesai dan ingin membuka kunci pintunya, gerakan tangannya tiba-tiba terhenti begitu saja.

Olivia mendengar obrolan yang berasal dari 3 orang perempuan yang ada di toilet itu juga.

Terdapat sebuah kaca besar di toilet itu, dan sepertinya keadaannya sedang cukup sepi. Jadi mereka terdengar santai dan bebas mengobrol.

“Mbak, menurut kamu ceweknya Pak Marcel yang sekarang nasibnya bakal gimana nanti?”

“Maksud kamu gimana? Nasib apanya?” sahut seseorang perempuan yang lain.

“Masa Mbak nggak tau rumornya sih. Pak Marcel kan suka main cewek,” ujar yang satunya lagi.

Olivia mengenal suara itu, terang saja. Mereka adalah 2 orang manager serta 1 orang direktur yang bekerja di perusahaan Marcel, yang kali ini ikut dalam perjalanan bisnis.

“Bakal kayak yang udah-udah deh kayaknya,” celetuk salah satu dari mereka lagi.

“Iya, bakal putus gitu aja. Terus paling nanti Pak Marcel dapet gantinya yang baru. Biasanya cepet lagi dapet gantinya,” sahut suara si perempuan yang pertama tadi membuka pembicaraan.

Mereka mengatakan lebih lanjut bahwa Olivia akan sama dengan wanita-wanita yang sebelumnya ada di hidup Marcel. Hubungan Marcel dan Olivia akan berakhir begitu saja nantinya, dan hanya menjadi sarana bagi Marcel untuk menyenangkan dirinya.

Kemudian mereka kembali membicarakan beberapa hal yang Olivia tidak terlalu mempedulikannya.

Olivia bingung dengan apa yang terjadi, kenapa mereka bisa berkata demikian. Padahal saat di depannya, mereka bersikap begitu baik dan seolah menghormatinya. Namun begitulah hakikatnya manusia, mereka sangat mampu untuk bertindak palsu. Seharusnya Olivia tidak perlu merasa heran dan mempertanyakan sikap mereka.

***

“Babe,” ujaran itu terdengar untuk yang kedua kalinya. Marcel berada di depan pintu kamar mandi dan tengah menunggu Olivia selesai dengan urusannya di dalam sana.

Beberapa detik kemudian, akhirnya pintu kamar mandi itu terbuka. Nampak Olivia yang tengah mengulaskan senyumnya.

“You’re okay?” Marcel bertanya dengan nadanya yang terdengar sedikit khawatir. Pasalnya tadi Olivia cukup lama berada di kamar mandi.

“I’m okay. Ngantuk aja, aku mau tidur.” Olivia tampak telah siap dengan piyama tidurnya. Tanpa Marcel tau, Olivia tengah berusaha mentralisir perasaan kalutnya agar tidak kentara ketika dirinya berhadapan dengan Marcel.

“Piyama kamu udah aku ambilin dari koper, aku taro di walk in closet ya,” ucap Olivia.

“Oke. Aku ganti baju tidur dulu. Kamu duluan ke kasur aja,” tutur Marcel.

“Babe, jangan lama ya di kamar mandinya,” ujar Olivia.

“Iya.”

Begitu Marcel akan berlalu dari hadapan Olivia, justru Olivia menahan lengannya. Olivia menatap Marcel dengan pandangan yang sedikit sulit Marcel artikan.

Olivia tidak ingin membuktikan atau berusaha mencari kebenaran omongan yang tadi ia dengar tentang Marcel yang begini, begitu, dan sebagainya. Olivia mempercayai Marcel, dan mengira itu hanyalah rumor, bahwa Marcel suka bermain dengan perempuan yang ia kencani. Bagi Marcel, kekasihnya hanyalah penyenangnya, tidak akan dijadikan seorang istri untuk pria itu.

Olivia mengakhiri pikirannya, ia menepis semua pemikiran negatif itu dari benaknya. Rasanya tidak mungkin rumor itu benar. Semua yang telah Marcel lakukan untuknya, bagaimana pria itu memperlakukannya, serta memperjuangkannya. Rumor itu memang hanyalah rumor yang tidak sengaja didengar oleh Olivia.

Olivia maju selangkah dan kemudian mendekat pada Marcel. Olivia perlahan melingkarkan lengannya di pinggang Marcel, lalu ia menjatuhkan dirinya ke pelukan pria itu.

“Babe, do you love me?” Olivia bertanya masih dengan posisi mereka yang berpelukan.

“You already knew the answer, Babe. Why you asked that question to me? I love you, it's really clear,” ujar Marcel.

Marcel tidak tahu apa yang tengah dirasakan oleh Olivia, ia hanya membalas pelukan itu sambil mengatakan bahwa dirinya mencintai Olivia. Marcel mendekap Olivia, secara sempurna membuat torso Olivia merasa hangat.

Selang beberapa detik kemudian, Olivia lebih dulu mengurai pelukannya. Olivia menatap pada iris legam Marcel, salah satu bagian dari Marcel yang ia sukai dan selalu membuatnya berkali-kali jatuh cinta. Kedua mata itu yang selalu menatapnya dengan tatapan penuh afeksi, yang membuat Olivia merasa nyaman hanya dengan mendapati Marcel bersamanya.

Secara perlahan tapi pasti, kemudian Olivia berjinjit untuk kemudian menggapai bibir Marcel dengan bibirnya.

Marcel segera membalas ciuman Olivia, berusaha mengikuti tempo Olivia yang kali ini terasa agak berbeda dari biasanya. Seperti ada hasrat dan sedikit emosi dari lumatan itu.

Marcel terbawa suasana yang awalnya diciptakan oleh Olivia. Hingga dirinya lama-lama pun menjadi brutal. Satu tangan Marcel bergerak melepaskan tali gaun tidur Olivia hingga sampai turun ke lengannya. Sama dengan yang Marcel lakukan, jemari Olivia tampak lihai melepaskan satu persatu kancing kemeja Marcel.

Mereka berciuman sambil berjalan mundur. Nafas keduanya terdengar berhembus kasar dan beradu satu sama lain. Hingga langkah mereka sampai di kamar, punggung Olivia bertemu dengan salah satu dinding kamar. Marcel menjaga Olivia di sana, tapi masih tetap melumat bibir kekasihnya. Mereka saling memagut bibir dan tangan keduanya menjamah dengan gerakan sensual pada tubuh satu sama lain.

Kiss in The Room

“Arghh,” Marcel mengerang tertahan begitu dirinya merasa kenikmatan berkat aksi Olivia kepadanya.

“You are so hot tonight, Babe,” ujar Marcel pelan ketika akhirnya Olivia memberi waktu istirahat padanya.

“I want you,” Olivia berucap di dekat Marcel.

“Tadi katanya kamu ngantuk,” ujar Marcel.

Olivia menggeleng satu kali. Kemudian Olivia melingkarkan kedua lengannya di seputaran leher Marcel. Olivia menatap pada kedua mata itu. Sayangnya Olivia tidak menemukan jawaban itu, jawaban bahwa Marcel adalah pria yang seperti orang-orang katakan.

“I love you,” ucap Olivia, nadanya ketika berucap terdengar sedikit parau, tapi tetap terasa penuh afeksi. Seperti ada makna yang begitu dalam dari ucapan itu.

“Babe, anything what you tought, if you want to tell me, tell me then.” Marcel menjeda ucapannya sesaat, ia lalu menjalarkan jemarinya pada helai halus rambut panjang Olivia. Marcel menyilakan rambut Olivia ke belakang telinga, sembari tetap menatap Olivia dengan tatapan penuh afeksi. “If you won’t tell, that’s oke. I’ll be here for you, I will hug you. Don’t ever think that you’re alone. You have me, alright?”

Olivia mengangguk sekali. “Alright.”

Marcel lantas mengulaskan senyumnya, masih menatap Olivia tanpa jengah, ia berujar di dekat Olivia, “I love you, Babe. I will always do.”

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Marcel ingin memperjuangkan Olivia, ia akan memperjuangkan cintanya dan apa yang membuatnya bahagia, sekalipun harus menentang keputusan orang tuanya.

Selama 3 hari belakangan, Marcel dan Olivia tidak bertemu. Marcel memberikan waktu dan ruang bagi Olivia untuk berpikir. Meski rasanya sulit bagi Marcel karena ia merindukan Olivia, tapi di satu sisi ia juga tidak ingin menyakiti Olivia. Marcel sadar akan kesalahannya dan kenyataan bahwa ia telah menyakiti Olivia. Marcel akan berusaha agar Olivia memaafkannya secara perlahan.

Hari ini Marcel memutuskan akan kembali menemui Olivia. Marcel telah mengirim pesan pada Olivia, memberitahu bahwa dirinya akan datang ke butik pada jam makan siang.

Namun Marcel tercengang ketika ia sampai di butik. Marcel tidak menemukan Olivia. Karyawan di tempat itu, semuanya kompak mengatakan bahwa mereka tidak tahu di mana Olivia berada. Olivia hanya mengatakan pada karyawannya bahwa dirinya memerlukan waktu untuk sendiri dan akan pergi cukup jauh, tapi tidak memberitahu ke mana tujuan perempuan itu pergi.

Marcel memutuskan pergi dari butik Olivia untuk menuju apartemennya. Namun sama saja, ia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Olivia. Marcel terus mencari, ia bertanya pada pemilik unit apartemen atau petugas kebersihan yang kemungkinan melihat Olivia sebelum perempuan itu pergi.

Namun semua yang didapatkan Marcel sama saja, tidak ada yang tahu di mana keberadaan kekasihnya. Marcel yang tengah kalut lekas menelfon Arsen menggunakan ponselnya.

“Halo Bos? Kenapa?” sahtu Arsen di telfon.

“Sen, gue mau minta tolong sekarang juga. Tolong cari di mana Olivia,” ujar Marcel.

“Maksud lo? Emang Olivia ke mana?”

“Oliv pergi, Sen. Karyawannya, temen-temennya udah gue tanyain semua, tapi nggak ada yang tau Oliv di mana. Gue tanya sama pemilik unit apartnya, semalem katanya Oliv pamit pergi ke beliau sambil bawa koper gede.”

“Kalau keluarganya? Lo tau?”

“Dia .. dia cuma punya keluarga dari Mamanya. Om sama Tantenya, tapi mereka pun tinggal di luar negeri.”

“Oke. Sekarang lo tenang dulu. Gue bakal bantu cari info.”

“Oke. Tolong, info apa pun yang lo dapet, secepatnya kasih tau gue.”

“Siap. Pasti gue secepetnya bakal kasih tau lo.”

Setelah itu sambungan telfon diakhiri. Marcel masih berada di depan unit apartemen Olivia. Marcel berharap bahwa pintu itu akan terbuka dan menampakan kekasihnya di sana. Marcel berharap dengan pikiran bodohnya, bahwa Olivia akan muncul di balik pintu itu dan menyambutnya dengan sebuah senyuman hangat. Namun hal tersebut hanyalah sebuah harapan yang saat ini tidak mungkin untuk menjadi kenyataan.

***

2 hari sudah berlalu sejak Marcel tidak menemukan Olivia di apartemennya. Bahkan orang-orang terdekat Olivia pun tidak tahu di mana keberadaan perempuan itu.

Marcel benar-benar kalut, ia merasa hancur tanpa Olivia.

Malam ini Marcel memutuskan untuk tetap datang menghadiri sebuah acara ulang tahun kolega bisnisnya, dengan kondisi hatinya yang tidak baik-baik saja.

Marcel datang ke sana dan mengucapkan selamat ulang tahun kepada temannya, memberikan hadiah yang ia bawa, lalu mencoba membaur di antara orang-orang yang tampaknya tengah berbahagia, tapi Marcel sama sekali tidak bisa ikut merasakan kebahagiaan itu.

Marcel kehilangan rumah dan kebahagiannya, ia kehilangan Olivia. Sebuah minuman alkohol yang sudah lama sekali tidak Marcel sentuh, malam itu hampir 1 botol besar dihabiskan olehnya. Di saat orang-orang di pesta itu datang ditemani orang tercinta mereka, berdansa, mengobrol, sedangkan Marcel hanya sendirian dan membiarkan dirinya berkali-kali meneguk minuman keras.

Marcel kesekian kalinya meminta bartender di konter bar untuk memberikannya minuman. Bartender itu tampak tidak yakin, karena melihat kondisi Marcel yang sudah lumayan hangover.

Namun Marcel meracau dan terus meminta untuk dituangkan minuman ke gelasnya, lagi dan lagi. Jadi bartender itu hanya melakukan apa yang menjadi pekerjaannya.

Beberapa orang yang mengenal Marcel di sana tampak khawatir dengan kondisinya, mereka berniat membantu dan mengantar Marcel pulang. Namun aksi mereka mendapat penolakan dari Marcel.

Marcel terus meracau tidak jelas, ia meminta semua orang untuk menjauhinya. Marcel meminta bartender di hadapannya untuk mengeluarkan semua minuman. Marcel berceloteh bahwa ia bisa membeli semua minuamn itu, tanpa terkecuali, jadi pria di hadapannya harus memberikannya minuman.

Sampai ketika Ravell dan Alex yang merupakan sahabat Marcel tiba di sana, mereka segera menghampiri Marcel di meja bar. Mereka juga diundang ke acara itu, keduanya datang bersama kekasih mereka yang kemudian juga merasa khawatir setelah melihat kondisi Marcel.

“Cel, lo hangover parah. Gue sama Alex anter lo pulang ya?” ujar Ravell.

Marcel menoleh dan mendapati Ravell dan Alex berada di hadapannya. “Mana ada gue mabok,” ujar Marcel. “Lo liat nih, mana ada sih gue mabok,” Marcel kembali meracau, kali ini sembari berusaha berdiri dari kursinya. Namun belum sampai 2 detik, Marcel hampir ambruk ke lantai kalau saja Ravell dan Alex tidak sigap menahannya.

Marcel yang masih setengah sadar itu lantas mendongak, ia berusaha berdiri sendiri, seolah mengatakan bahwa dirinya tidak membutuhkan Ravell dan Alex untuk membantunya.

Marcel menatap Ravell dan Alex secara bergantian. Ravell mendapati tatapan penuh luka dari mata sahabatnya itu. Melihat Marcel datang sendiri ke tempat ini, Ravell sudah dapat menebak apa yang terjadi hingga Marcel bisa sampai sekacau ini.

“Oliv pergi, Rav. Dia pergi nggak tau ke mana. She left me. I’m a shit without her,” ujar Marcel.

“Nanti kita cari Oliv ya. Lo tenang aja, pasti Oliv balik,” ujar Ravell.

Marcel menggeleng pelan. Setelah itu Marcel beralih menatap Alex, tatapannya seolah mengadu. “She’s hurt because of me. Gue nyakitin dia,” Marcel meracau lagi.

Ravell dan Alex hanya terdiam di sana. Mereka jelas bisa paham hancurnya Marcel, karena mereka tahu tahu seberapa berartinya Olivia bagi Marcel.

“Cel, pulang ya. Kita anter lo. Besok kita cari Oliv, oke?” ujar Ravell dan sudah jadi keputusan final bahwa ia akan mengantar Marcel pulang.

Ravell lantas meminta supirnya untuk menjemput di lobi, kemudian berpamitan pada kekasihnya untuk mengantar Marcel pulang.

Tidak terpikirkan apa pun di benak Ravell dan Alex selain mengantar Marcel pulang dan memastikan sahabat mereka akan baik-baik saja.

Malam ini tidak akan ada pesta bagi Ravell dan Alex. Katakan bagaimana bisa mereka bersenang-senang di saat sahabat mereka dalam kondisi sehancur ini?

***

Marcel terbangun di kamarnya dan melihat jam saat ini yang tengah menunjukkan pukul 10 pagi. Rasanya lama sekali Marcel sudah tertidur, tapi ia sama sekali tidak merasa lebih baik setelah terbangun. Rupanya tidur tidak bisa mengobati rasa sakit di hatinya.

Marcel mencoba beranjak dari kasur meskipun kepalanya terasa pening dan begitu berat. Seperti ada sesuatu yang menghantam kepalanya, hingga akhirnya Marcel memutuskan kembali merebahkan tubuhnya di kasur.

Marcel kemudian mengambil ponselnya dan menelfon seseorang. Marcel menelfon orang suruhannya yang ia minta untuk mencari Olivia. Namun jawaban yang sama kembali didapatkan oleh Marcel. Orang suruhannya belum menemukan di mana Olivia berada.

“Shit,” Marcel mengumpat pelan ketika merasakan pening kembali menyerang kepalanya. Marcel lalu membuka ponselnya dan melihat halaman chat-nya dengan Olivia. Marcel merasakan kembali dadanya yang sesak. Ia memejamkan mata, berusaha mentralisir rasa sakit itu.

Marcel membuang-buang waktunya dengan membaca pesan-pesan lamanya dengan Olivia. Marcel tersenyum getir, tapi setelah itu ia menitikkan air mata.

Marcel lantas berucap lirih, “Babe, I’m a shit without you.”

***

Hari itu Marcel sebenarnya tidak ingin berangkat ke kantor, tapi ia tetap harus datang untuk bekerja.

Marcel tidak bisa mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin perusahaan begitu saja. Bagaimanapun keadaannya, tidak peduli hatinya sedang hancur, nasib perusahaan dan ribuan orang berada di kedua pundaknya, jadi ia tidak bisa absen.

Marcel datang ke kantor sedikit terlambat. Ketika ia datang, meeting langsung segera dimulai. Semua orang telah menunggunya di ruang meeting itu.

Sebelum memulai rapat, Marcel mengucapkan permintaan maafnya karena telah mengundur waktu meeting.

***

Sekitar 1 jam kemudian, rapat yang dipimpin oleh Marcel akhirnya selesai. Marcel bergegas kembali ke ruangannya dan melonggarkan dasi di kerahnya yang terasa mencekik. Pria itu juga melepas jas hitamnya dan meletakkannya di sofa secara asal.

Tidak berapa lama, terdengar ketukan di pintu ruangannya. Marcel mempersilakan orang di balik pintu untuk masuk, dan ternyata itu adalah Arsen.

“Bos, katanya kemarin lu hangover parah pas di acara ultahnya Dean?”

Arsen memperhatikan kondisi Marcel. Marcel tampak pucat dan tatapan mata pria itu terlihat sayu. “Lo kayaknya kurang sehat deh. Mending lo balik terus istirahat di rumah,” ujar Arsen.

“Gimana? Udah ada kabar soal Oliv?” Marcel malah bertanya tentang hal lain, mengabaikan ucapan Arsen yang sebelumnya.

“Belum ada,” jawab Arsen.

“Kayaknya Oliv ke luar negeri. Gue yakin dia nggak bakal pergi jauh-jauh. Lo bisa pesenin gue tiket ke Singapur sekarang? Oliv bilang dia hapal beberapa tempat di Singapur karena sering ke sana, siapa tau dia ada di sana.”

“Bos, menurut gue lo pulihin kondisi dulu. Yang ada lo nambah masalah kalau gini,” ujar Arsen.

Marcel mengabaikan itu, ia tetap pada rencananya untuk mencari Olivia ke Singapore. Baru saja Marcel hendak beranjak dari kursinya dan mencoba berdiri, tapi detik berikutnya tubuhnya hampir ambruk kalau saja Arsen tidak sigap menahannya.

“Oliv nggak bakal suka kalau tau lo terus nyakitin diri sendiri kayak gini,” ucap Arsen.

Marcel merasa ditampar dengan ucapan itu. Kenyataan yang tengah dihadapi Marcel saat ini terasa begitu menyakitkan untuknya, sampai tidak sadar ia telah menyakiti diri sendiri.

Marcel lemah tanpa Olivia dan tidak mengenali dirinya. Di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor, masalah dengan orang tuanya, ditambah Olivia yang pergi darinya, semuanya terasa seperti badai besar yang datang menghantam Marcel.

Marcel merasa payah, tidak berdaya, dan ia menyalahkan keadaan yang ada. Marcel takut kembali kehilangan, dirinya sungguh mencintai Olivia dan tidak menginginkan untuk bersama dengan perempuan lain.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Sebelumnya Marcel telah bicara pada Olivia, bahwa pria itu ingin mengenalkan Olivia pada teman-teman dekatnya.

Marcel mengatakan ia dan teman-temannya biasa melakukan ini, yakni liburan bersama pasangan mereka. Di saat punya waktu senggang, mereka akan meluangkan waktu untuk pergi ke suatu tempat untuk me-refresh pikiran. Disebutnya sih ‘Collab Date’. Jadi para pria akan mengajak pasangan mereka masing-masing untuk kemudian menginap bersama di satu tempat.

Sebuah penerbangan pesawat first class ke Bali telah dipesan. Mereka totalnya berjumlah 8 orang, dan berencana akan menginap selama 3 hari sudah termasuk perjalanan pulang dan pergi.

Olivia berkenalan dengan 3 pria yang merupakan sahabat-sahabat Marcel, serta 3 orang perempuan yang merupakan kekasih dari para pria itu.

“Hai, gue Ravell,” ujar seorang pria berkulit putih dan bermata agak sipit. Pria itu yang pertama kali memperkenalkan diri kepada Olivia.

“Gue Keenan,” berlanjut seorang pria bertubuh jangkung dan berkulit agak tan yang mengulurkan tangannya pada Olivia untuk memperkenalkan diri.

“Kenalin gue Alex.” Dan yang terakhir adalah Alex, pria berkulit putih yang merupakan pria blasteran Indonesia Australia.

Ravell, Keenan, dan Alex merupakan sahabat Marcel dan mereka telah lama menjalin hubungan pertemanan. Ketiga lelaki tersebut merupakan pengusaha sukses di usia mereka yang terbilang muda. Satu persatu mereka mengenalkan diri pada Olivia yang dibalas dengan sambutan ramah olehnya.

Olivia juga berkenalan dengan Luna, Allysa, dan Maya, yang merupakan kekasih dari ketiga lelaki itu.

Malam ini mereka berkumpul di beach club yang tidak jauh dari resort tempat mereka menginap. Di sana mereka menyewa sebuah area VVIP untuk menikmati pemandangan pantai sambil berendam di jacuzzi dan meneguk minuman yang harganya bisa terbilang fantasis.

Di sana bukan hanya para pria yang bicara tentang bisnis, tapi para wanita juga. Maya merupakan pengusaha yang memiliki brand kosmetik dan sebuah salon. Allysa baru saja terjun ke dunia bisnis untuk melanjutkan bisnis kuliner milik keluarganya. Serta Luna merupakan pemilik brand skincare lokal yang terkenal, bahkan produk miliknya telah banyak dipakai oleh kalangan artis ternama.

Olivia juga menceritakan tentang dirinya, pekerjaannya, dan beberapa kliennya yang ternyata juga mengenal mereka. Dunia rasanya sempit, terlebih mereka berada di bidang yang sama yakni bisnis. Jadi mereka seperti berputar-putar saja dan lagi-lagi bertemu dengan orang sama.

Ketika hari beranjak malam, mereka berdelapan memutuskan untuk menikmati dinner di restoran seafood yang lokasinya yang tidak jauh dari pantai. Sambil menikmati makan malam, mata mereka dimanjkan oleh pemandangan Pantai Canggu, salah satu pantai di Bali yang sangat indah.

Berbagai menu makanan seafood kini tersaji di hadapan mereka, lengkap di satu meja panjang dan nampak begitu menggugah selera. Ada minuman wine yang juga telah dipesan oleh Alex, satu di antara mereka tampak begitu bersemangat malam ini.

Alex baru saja akan menuangkan minuman anggur itu ke gelas milik Marcel, tapi dengan cepat Marcel menolaknya. “Gue nggak minum, Bro,” ujarnya.

“Beneran?” Alex bertanya untuk memastikan.

“Kan udah lama juga Marcel nggak minum,” celetuk Ravell.

“Oh iya. Oke-oke,” Alex lantas membawa botol itu bersamanya dan kembali duduk di kursinya, yakni di samping Maya.

Makan malam pun berlanjut diiringi dengan obrolan-obrolan ringan. Alex dan Keenan menikmati wine di sela-sela menyantap makanan. Ravell meminumnya sedikit, sementara Marcel tidak menyesap minuman keras itu sama sekali.

Selesai mereka menikmati makan malam, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sedikit guna menghilangkan rasa begah di perut sebelum harus kembali ke resort.

Ketika mereka berjalan-jalan, Alex tampak hangover cukup parah, jadi pria itu izin kembali duluan ke resort bersama dengan kekasihnya, Maya.

Tidak lama berselang, Keenan juga pamit karena terlihat sudah tidak sabar melakukan sesuatu dengan kekasihnya. Keenan hampir saja mencium Allysa secara brutal, tidak sadar tempat bahwa mereka bisa ditonton beberapa orang di pantai juga.

Jadi akhirnya Marcel dan Ravell berinisiatif untuk membantu membawa Keenan ke resort. Tidak mungkin Allysa yang tubuhnya mungil sanggup membawa kekasihnya yang bertubuh kekar itu sampai dengan aman ke kamar resort mereka.

Sehingga jadinya tersisa Olivia dan Luna di sana . Kedua perempuan itu memutuskan tetap berjalan pelan di sekitar pantai, toh pacar mereka akan kembali setelah mengantar Keenan. Luna mengatakan, untung saja Ravell tidak sampai hangover, jadi mereka masih bisa berjalan-jalan. Luna ingin menikmati suasana pantai di malam hari, jadi perempuan itu memang telah mengatakan pada kekasihnya untuk tidak minum terlalu banyak.

“Liv, Ravell sempet cerita lho sama gue tentang lo sama Marcel,” celetuk Luna tiba-tiba.

“Oh iya? Cerita apa emangnya Lun?” Olivia bertanya.

“Ravell sama Marcel udah sahabatan lumayan lama. Jadi hampir apa-apa Marcel tuh cerita ke Ravell, terus Ravell cerita juga ke gue. Nah pas kemarin waktu Marcel naksir lo, dia sempet ngerasa kalut gitu. Ravell ikutan kepikiran juga, makanya coba bantuin buat hubungin Om Hari kalau nggak salah, buat beli saham gitu deh.”

Olivia masih mendengarkan cerita Luna dengan seksama.

“Perlakuan Marcel ke lo keliatan beda deh Liv, sama cewek-cewek dia yang sebelumnya. Dia dulu nggak se-effort ini, terus katanya lo udah ketemu sama anaknya Marcel ya?”

“Iya, udah sempet ketemu,” ujar Olivia.

“Gue kasih tau nih Liv, pacarnya yang sebelumnya mana ada tuh yang dikenalin ke anaknya. Ya paling ke kita-kita doang sih dikenalinnya. Biasanya ya, Marcel tuh gampang banget dapetin cewek, nggak pernah ngerasa galau dan sampe ngejar segitunya, kayak ke lo. Makanya Ravell sempet agak heran juga pas kemarin, tapi bagus deh kalian long last sampe sekarang. Gue liat Marcel kayak serius banget ama lo. Gue doain lo sama Marcel langgeng terus ya Liv. Gue ikut happy liat kalian.” Luna mengakhiri penuturannya dengan seulas senyum di wajahnya.

“Iya Lun. Makasih ya,” ujar Olivia diiringi sebuah senyum segaris.

***

Marcel dan Olivia telah kembali ke kamar mereka. Marcel menutup pintu dan menguncinya, lalu lekas menghampiri Olivia yang telah menjamah kasur lebih dulu.

“Babe, besok kita berenang yuk di pantai. Tapi pagi ya?” ujar Marcel.

“Jam berapa?”

“Kalau jam enam gimana? Kamu mau pake swim suit yang warna item itu kan?”

“Iya, aku mau pake yang itu. Kenapa harus pagi-pagi? Itu jam 6 masih dingin banget lho, Babe,” ujar Olivia.

Marcel menyusul Olivia ke kasur, lalu ia menghela pinggang Olivia agar posisi mereka tidak berjauhan.

Marcel mempertemukan netranya dengan netra Olivia. “Kamu pasti cantik banget pake baju itu. Kalau pagi kan masih sepi, Babe. Aku maunya aku doang yang liat, ya? Please,” Marcel mencebikkan sedikit bibirnya, kelakukannya persis seperti anak anjing yang meminta sesuatu dan tampak begitu menggemaskan.

“Iya. Nanti bangunin aja kalau aku belum bangun.” Olivia akhirnya setuju akan ide itu.

“Oke, Sayang. Ayo kita tidur sekarang, biar besok bisa bangun pagi,” Marcel menampakkan senyum lebarnya di hadapan Olivia.

Olivia mengangguk. Lantas mereka melangkah ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan sedikit membersihkan diri. Baru setelah itu keduanya kembali lagi ke ranjang dan menenggelamkan diri di bawah selimut. Udara malam ini cukup dingin, jadi cocok sekali untuk berpelukan agar mendapat hangat alami dari kulit yang saling bersentuhan.

“Babe,” ujar Olivia.

“Iya?”

“Emangnya sejak kapan kamu udah nggak minum alkohol lagi?” Olivia bertanya.

“Udah lumayan lama sih. Mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu,” terang Marcel.

“Alasan kamu berhenti?”

“Karena aku punya anak. Kayaknya karena itu aja. Aku pengen hidup lebih sehat dan punya umur panjang, jadi harus berhenti minum minuman itu.”

“Alright. That’s a good choice.”

Olivia lantas semakin mendekatkan dirinya kepada Marcel, kini sepenuhnya menyandarkan kepalanya di dada bidang Marcel.

“Tadi Luna cerita sama aku. Katanya dia tau cerita itu dari Ravell,” ujar Olivia. Olivia sudah memejamkan matanya, tapi masih berbicara.

“Luna cerita apa ke kamu?” Marcel bertanya.

“Ada deh. Pokoknya tentang kamu,” ujar Olivia dengan nada menggoda.

“Babe, serius. Dia cerita apa?” Marcel yang penasaran pun bertanya lagi dan benar-benar ingin mengetahuinya.

“Cerita tentang yang baik-baik kok,” ujar Olivia.

“Lho aku kan emang pria baik-baik.”

Olivia spontan tertawa, lalu ia melonggarkan dekapannya di torso Marcel. Olivia lantas sedikit menjauhkan wajahnya agar ia bisa menatap Marcel.

“Alright, alright, you’re a good man,” ujar Olivia.

“I will be a good man for you,” cetus Marcel.

“Thank you then.”

Dengan gerakan cepat, Marcel lalu mencuri satu ciuman di bibir Olivia.

CUPH.

Terdengar bunyi kecupan yang pelan di kamar itu.

Olivia lantas tidak diam begitu saja, ia lekas membalas ciuman itu. Jadi kini mereka satu sama. Marcel membulatkan matanya, tampak lucu dan menggemaskan di mata Olivia.

“Kamu makin pro ya, Babe,” cetus Marcel.

“Oh ya?”

“Iya.”

“I think I’m not a pro yet. Can you teach me more?” ujar Olivia dengan tatapan menggodanya.

“Ini kamu yang minta lho, Babe. Jangan nangis ya nanti.”

“Kenapa aku harus nangis? Kapan emangnya aku nangis?”

“Kemarin, kamu nangis karena kesakitan.”

“Babe, oke. Don’t remind me about that,” cetus Olivia dengan cepat, tatapan matanya memperingati Marcel, tapi justru tampak lucu dan menggemaskan di mata Marcel.

Marcel spontan tertawa puas, tapi kemudian tawanya terhenti karena Olivia yang bergerak melumat bibirnya. Bahkan Olivia menarik bibir bawah Marcel kemudian menggigit-gigit kecil di sana. Selama beberapa detik Olivia melakukannya dan akhirnya perempuan itu melepaskan pagutannya.

“Hei, calm down, Babe. I’m here, I will teach you more,” ujar Marcel dengan nada santainya, seolah pria itu menikmati pembalasan cukup kejam yang baru saja dilakukan Olivia.

“Alright. Teach me then,” ucap Olivia dengan nada seriusnya.

“Oke. We will do it tonight. It’s a lesson that we can learning by doing,” ujar Marcel.

“Babe, kita nggak jadi langsung tidur dong?” ujar Olivia.

“Satu kali aja, habis itu kita tidur. Gimana?”

Olivia mengangguk sekali, “Oke.”

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Marcel tidak mengada-ngada ketika ia mengatakan pada Olivia bahwa Mikayla menanyakan soal ‘Mommy Oliv’.

Mikayla bertanya apakah bisa ia bertemu lagi dengan Olivia. Tentu saja, Marcel mengatakan bahwa putrinya bisa bertemu dengan Olivia, kapan pun, di saat ‘Mommy Oliv’-nya memiliki waktu senggang untuk bertemu.

Beberapa kali Mikayla meminta Marcel untuk menelfon Olivia. Kemudian kedua perempuan itu mengobrol banyak hal di telfon. Sampai-sampai, Mikayla tidak mau menyerahkan ponsel milik Marcel ketika Papanya itu meminta gantian bicara, karena juga ingin berbicara dengan Olivia.

Sudah empat hari belakangan ini, Marcel dan Olivia tidak bertemu, itu dikarenakan kesibukan masing-masing terkait pekerjaan keduanya. Jadi malam ini bukan hanya Mikayla yang akan melepas rindunya pada Olivia, tapi Marcel juga.

Marcel menjemput Olivia di butik lalu mengajaknya ke rumah untuk bertemu dengan Mikayla. Kemudian setelah itu mereka mempunya rencana khusus berdua.

Begitu Olivia dan Marcel tiba di kamar Mikayla, gadis kecil itu langsung menyambut keduanya dengan sebuah senyuman semringah. Ini hampir pukul 8 malam, Mikayla baru saja selesai mengerjakan PR-nya. Gadis itu tampak mandiri, ia merapikan buku-buku miliknya untuk besok dibawa ke sekolah, serta beberapa alat tulis yang diminta gurunya untuk dibawa.

“Hai Mommy,” panggil Mikayla begitu melihat Olivia di sana.

Serta merta Olivia tampak terkejut mendengar panggilan itu. Kedengarannya masih asing baginya, tapi Olivia merasa hatinya menghangat mendapati itu.

“Hai, Sayang,” balas Olivia sembari melangkah mendekat pada Mikayla.

Marcel menutup pintu kamar anaknya dan menyusul kedua perempuan yang disayanginya itu.

“Mana nih yang katanya kangen sama Mommy Oliv?” celetuk Marcel.

Mikayla seketika menoleh pada Marcel. “Tapi datengnya kenapa malem? Kan besok Mikayla harus sekolah, Daddy. Jadi nggak bisa tidur malem-malem. Kita nggak bisa main yang lama sama Mommy.”

“Emangnya Mikayla mau main apa?” Olivia lantas bertanya.

“Kemarin Daddy beliin mainan makeup untuk anak-anak. Mikayla mau main itu sama Mommy, karena nggak bisa sama Daddy mainnya, Daddy kan laki-laki.”

Olivia seketika tertawa mendengar penurutan itu. “Oke. Kita mainnya besok aja ya, Sayang. Nanti Mommy ke sini lagi deh. Sekarang Mommy bacain cerita sebelum Mikayla bobo, mau nggak?”

“Mau dong!!” seru Mikayla yang tampak antusias dengan ide yang diajukan Olivia.

“Oke, tapi kita sikat gigi dulu, karena habis baca cerita, Mikayla harus langsung bobo,” tutur Olivia.

“Oke, Mommy.

Akhirnya Olivia mengantar Mikayla untuk bersiap-siap sebelum tidur, yakni gadis itu harus menyikat giginya. Selagi Olivia dan Mikayla pergi ke kamar mandi, Marcel berniat mengambil buku cerita dongeng Princess Disney yang terdapat di deretan rak buku di kamar anaknya.

Buku-buka cerita tersebut tampak masih seperti baru. Marcel kemudian mengambil salah satu buku dari sekian banyak. Karena jarang dibaca—terlebih Marcel tidak membacakan buku itu untuk anaknya—jadi buku-buku masih tampak apik dan seperti memang jarang disentuh.

Marcel menatap buku itu, lalu membuka satu halaman pertamanya. Marcel kemudian sadar bahwa ia belum menjadi seorang Ayah yang baik untuk putrinya. Namun Marcel ingin mencoba dan akan terus mencoba.

***

Di kamar di penthouse yang tampak megah itu, Marcel membawa torso Olivia ke dalam pelukannya. Lantas didekap hangat kekasih hatinya itu. Kedua mata Marcel terpejam kala menikmati usapan lembut Olivia di punggungnya.

Malam ini mereka kembali menghabiskan waktu bersama di penthouse. Marcel sebelumnya mengatakan ingin mengajak Olivia menginap di rumah, tapi Olivia tidak setuju dengan ide itu. Karena Marcel adalah contoh bagi anaknya. Marcel merupakan figur seorang Ayah yang dijadikan Mikayla sebagai panutan. Meskipun sekarang masih kecil, Mikayla akan tetap ingat dan mungkin bisa saja bertanya suatu hari nanti, mengapa Daddy dan Mommy-nya tidur bersama padahal keduanya belum menikah?

“Babe, nanti anter aku pulang ya. Habis itu kamu pulang juga,” ujar Olivia.

“Bener kamu nggak mau kita nginep aja di sini? Ini udah malem lho,” cetus Marcel.

“Nanti Mikayla nyariin kamu. Pagi-pagi kan dia berangkat sekolah, kalau liat Daddy-nya nggak ada di rumah, gimana?”

“Hmm.”

“Hmm itu artinya iya, kan?” Olivia bertanya untuk memastikan.

“Iya, Babe. Satu jam lagi ya. Aku anter kamu pulang, habis itu aku pulang ke rumah,” ujar Marcel.

“Oke.”

Olivia kemudian memperhatikan Marcel yang kini tengah memejamkan matanya, tapi tahu bahwa pria itu tidak tidur. Olivia juga tidak merasa mengantuk, ada hal yang menempel di pikirannya sejak tadi.

“Babe,” ujar Olivia pelan.

“Kenapa Sayang?” Marcel menyahut pelan sembari membuka matanya. Marcel menatap Olivia dan menduga bahwa ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran kekasihnya itu.

“Aku mau ngomongin ini sama kamu, tentang Mikayla.”

“What happen?”

“Waktu Mikayla lahir, gimana perasaan kamu? Maksud aku, pasti kamu seneng kan pas waktu itu?”

Marcel lantas mengangguk satu kali. “I’m happy when the first time I saw her crying. I’m the first man who hold her little hands. Tapi perasaanku lama-lama kayak berubah.”

“Maksudnya .. berubah gimana?”

“Aku ngerasa kalau rasa sayangku ke Mikayla didasari cuma karena kewajiban aja, karena aku Papanya. Aku selalu nanya ke diriku pertanyaan yang sama, sebenernya aku sayang nggak sama anak aku. Padahal harusnya nggak kaya gitu, harusnya aku sayang sama dia, karena dia adalah darah daging aku. Aku bingung dan ngerasa belum siap untuk jadi seorang Ayah pada saat itu, tapi Mikayla hadir. Makin lama aku ngerasa makin jauh dari anakku. Setiap kali liat dia, aku nyalahin diri sendiri, karena aku belum bisa jadi Ayah yang baik untuk dia, bahkan rasanya sampai sekarang.”

“But your eyes can’t lie. You’re truly loves her,” ujar Olivia.

Olivia lantas mendapati kedua mata Marcel yang tampak berkaca-kaca. Kemudian Marcel mengulaskan seulas senyum getir.

“Aku masih punya kesempatan nggak ya untuk jadi Ayah yang baik buat dia?”

“Kamu akan selalu punya kesempatan itu,” ucap Olivia. Olivia menjeda ucapannya, ia tengah berusaha menahan tangisnya. Mendapati fakta bahwa adanya jarak di antara Mikayla dan Marcel, Olivia merasa tergerak untuk membuat Marcel menjadi lebih dekat dengan anaknya.

“Kamu itu Papanya Mikayla. Dia sayang banget sama kamu, dia pengen selalu habisin waktunya bareng kamu. Kayak yang kamu bilang, tangan laki-laki pertama yang Mikayla genggam itu tangan kamu. Jadi, posisi kamu di hidup Mikayla nggak akan bisa digantiin sama siapa pun. Kamu bakal selalu ada di hatinya dan jadi laki-laki pertama yang dia cintai. Oke?”

“Oke. Aku mau berusaha jadi Papa yang baik buat dia.”

“Nope. She’s already have the best Dad ever.”

Marcel lantas tersenyum.

“Coba kamu sama Mikayla lebih banyak spend waktu bareng. Kalau kamu bisa pulang kantor lebih cepet, kamu harus langsung pulang. Kamu temenin dia belajar dan bacain buku cerita sebelum dia tidur,” ujar Olivia panjang lebar.

“Iya. Tapi spend time-nya sama kamu juga. Kita bertiga, ya?”

Olivia seketika tertawa. “Alright, Daddy.”

“Babe, be careful with that word.”

“Why should I be careful?” Olivia bertanya.

“Because when you called me like that, I really want make you scream it under me.”

“Oh my goodness.”

Kemudian mereka tertawa bersama. Air mata Olivia yang sebelumnya hampir jatuh, akhirnya tidak tertahankan lagi untuk terjun dari pelupuk matanya. Namun bukan itu air mata kesedihan, melainkan air mata bahagia. Marcel sedari tadi telah mendapati Olivia berkaca-kaca ketika mereka membahas soal Mikayla.

Olivia bukanlah wanita yang melahirkan Mikayla, tapi bisa dengan mudah tersentuh hatinya hanya dengan memikirkan hubungan antara Mikayla dengan Marcel yang merenggang. Marcel mendapati itu, Olivia tampak tidak bisa berbohong kalau perempuan itu sungguh-sungguh telah menyayangi Mikayla, menyayangi putrinya.

“Babe, kamu bener-bener udah cocok jadi Mommy-nya Mikayla lho,” ujar Marcel.

“Masa?”

“Exactly. She will have the best future Mother, and it’s you. She alredy love you, Babe. Selama ini dia nggak punya sosok ibu yang bisa dia ajak buat main mainan perempuan. Tadi Mikayla keliatan seneng banget dibacain cerita sama kamu. Tapi Babe, nggak cuma Mikayla aja yang butuh kamu, aku juga butuh kamu. Remember that.”

Sepertinya Olivia akan menangis setelah ini. Namun bukan air mata kesedihan, melainkan air mata terharu karena bahagia.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

“Babe,” ujar Marcel, membuat Olivia langsung menoleh ke sampingnya.

“Iya?”

“Percaya sama aku, Mikayla bakal suka sama kamu. Ayo kita turun,” ujar Marcel sambil sekilas mengusap tangan Olivia, berusaha mengurangi rasa khawatir yang jelas Marcel tahu tengah dirasakan perempuan itu. Marcel dapat merasakan bahwa Olivia gugup, tapi itu wajar saja sebenarnya.

Akhirnya Olivia dan Marcel turun dari mobil. Satu tangan Marcel membawa paper bag pink, sementara tangan lainnya yang bebas meraih tangan Olivia, digenggamnya tangan itu selama mereka berjalan masuk ke dalam rumah.

Setelah berjalan beberapa langkah, kini Olivia mendapati kediaman bertingkat dua yang cukup megah bergaya minimalis modern dengan nuansa warna putih, coklat, dan krem. Rumah ini kesannya lumayan simpel tapi tetap elegan, khas sekali desain yang disukai Marcel.

Begitu langkah mereka sampai di dalam rumah, Marcel langsung membawa Olivia ke sebuah ruangan yang di mana sepertinya itu adalah ruang keluarga.

“Kayaknya Mikayla ada di kamar. Aku panggil dia dulu sebentar ya,” ucap Marcel yang segera diangguki oleh Olivia.

Olivia menunggu di ruangan itu, ia mengambil tempat di salah salah satu sofa.

Tidak lama Olivia menunggu, Marcel akhirnya kembali. Namun kali ini Marcel tidak sendiri. Seorang anak perempuan menggenggam tangannya, berjalan ke arah Olivia.

Marcel segera meminta putrinya untuk menyalami Olivia begitu dirinya dan Mikayla duduk berhadapan di sofa.

Anak perempuan berambut panjang itu tampak malu-malu ketika menatap Olivia. Jadi Olivia berinisiatif lebih dulu untuk mengulurkan tangannya sambil berujar ramah, “Halo, Mikayla. Aku boleh kenalan sama kamu?”

“Boleh. Tante namanya siapa?” ujar pelan Mikayla.

Olivia lantas mengulaskan senyumnya begitu Mikayla bersedia menyambut uluran tangannya. “Nama aku Olivia,” ujar Olivia.

Ketika tatapan Olviia bertemu dengan Marcel, Olivia mengisyaratkan melalui tatapannya, bahwa tidak masalah Mikayla memanggil Olivia dengan sebutan ‘Tante’.

Setelah perkenalan singkat itu, Olivia menunjukkan sesuatu yang ia bawa untuk Mikayla. Sebuah paper bag berwarna pink pastel membuat Mikayla tampak tertarik.

Mikayla kemudian membuka bungkusan itu, lalu matanya terlihat berbinar begitu mendapati mainan LOL Surprise favoritnya, ditambah lagi ada permen yang merupakan cemilan kesukaannya. Seutas senyum cantik segera terukir di wajah Mikayla, yang ketika Olivia memperhatikannya, senyum itu mirip sekali dengan senyum milik Marcel.

“Bilang apa Nak kalau dikasih sesuatu?” ujar Marcel pada Mikayla.

Mikayla langsung menoleh pada Olivia, lalu dengan pelan gadis manis itu berujar, “Thank you, Tante.”

“Sama-sama,” balas Olivia.

Mikayla tampak senang dengan mainannya dan tidak lupa, sebuah cake yang dibawakan Olivia untuknya.

“Mikayla mau cake-nya? Tante ambilkan ya buat Mikayla?”

“Mikayla doang Babe yang ditawarin? Aku kan juga mau tau,” cetus Marcel.

“Iya, aku ambilin buat kamu juga,” ujar Olivia.

Ketika Olivia akan beranjak dari tempatnya, Marcel segera menahannya. “Babe, minta tolong Bibi aja puat potongin kuenya. Kamu di sini aja. Sebentar ya.” Marcel lantas memanggil asisten di rumahnya untuk menyajikan 3 potongan cake untuk mereka.

Mikayla yang tadinya sedang sibuk dengan mainan barunya, kini menoleh dan menatap penasaran pada Olivia dan Marcel.

“Kenapa Sayang?” tanya Marcel.

“Tadi Daddy panggil Tante Olivia Babe. Emang itu artinya apa?” Celetukan Mikayla tersebut seketika membuat Marcel dan Olivia saling bertukar pandang.

Lantas dengan cekatan Marcel berujar. “Itu panggilan sayang Daddy ke Mommy Oliv, Princess. Sama kayak Daddy panggil kamu Princess, itu kan panggilan sayang juga.”

Berkat penjelasan Marcel itu, Mikayla bukannya mengerti, tapi gadis itu justru tampak bingung. Lantas Olivia mengisyaratkan pada Marcel melalui tatapannya, bahwa mungkin seharusnya Marcel tidak terang-terangan mengutarakannya.

Marcel tampak tidak merasa bersalah atas kelakuannya itu. Toh Marcel memang ingin mengenalkan Olivia pada Mikayla sebagai calon Mommy untuk anaknya, jadi tidak ada yang salah, begitu pikirnya.

“Princess, listen to Daddy, here,” ujar Marcel meminta Mikayla untuk menghampirinya.

Mikayla menurut dan beranjak untuk menghampiri Marcel. Anak itu lantas duduk di samping Marcel, di antara sang Papa dan perempuan yang barusan Papanya sebut sebagai calon Mommy untuknya.

“Tante Olivia ini calon Mommy-nya Mikayla,” ujar Marcel memberitahu putrinya.

“Kok bisa Tante Olivia jadi Mommy-nya Mikayla?” Mikayla segera bertanya dengan raut bingung.

Pembicaraan antara Marcel dan Mikayla itu tiba-tiba terinterupsi oleh asisten rumah tangga yang membawakan 3 piring kecil berisi kue dan menyajikannya di hadapan mereka.

Mikayla ingin menyantap kuenya lebih dulu, jadi Olivia mengatakan pada Marcel untuk membiarkan Mikayla menikmati dulu makanannya. Marcel dan Olivia akhirnya menikmati cake mereka juga. Sambil ketiganya menikmati makanan manis itu, Marcel memberitahu sesuatu pada putrinya.

“Mikayla tau nggak? Tante Oliv bisa bikin dress princess Disney yang sering kamu tonton itu. Princess Cinderella yang dress-nya warna biru. You like her so much, right?” ujar Marcel.

Mikayla seketika menoleh pada Olivia dan berceletuk, “Tante Oliv emang bisa buat gaun Cinderella?”

Olivia segera mengangguk. “Iya. Mikayla mau liat fotonya? Tante ada foto dress-nya.”

Dengan antusias Mikayla segera mengiyakan. Mikayla lantas mendekat pada Olivia begitu Olivia akan menunjukkan sesuatu di ponselnya.

“Cantik banget dress-nya,” celetuk Mikayla begitu netranya mendapati foto gaun yang dipakai oleh model waktu di fashion show. Gaun yang tampak indah dan menawan itu berhasil mempesona Mikayla yang notabenenya penggemar tokoh Princess Disney.

“Mikayla mau Tante buatin gaun kayak gini? Tante bisa buatin kalau Mikayla mau,” ujar Olivia.

“Mau,” dengan cepat gadis kecil itu mengiyakan.

“Babe, kalau kamu janjiin nanti dia nagih terus lho,” celetuk Marcel. Marcel telah selesai dengan cake-nya, ia lalu berpindah tempat duduk di sisi kanan Olivia.

“Nggak papa, aku emang mau buatin untuk Mikayla,” ujar Olivia.

“Emang nggak boleh yaa Daddy?” ujar Mikayla.

“Boleh,” sahut Olivia cepat.

“Boleh, tapi panggilnya Mommy dulu. Kamu kan mau dibuatin gaun, hadiahnya buat Tante Oliv, coba panggil Mommy dulu.”

“Kenapa?”

“Karena Tante Oliv seneng kalau kamu panggil Mommy.”

“Kalau Tante Oliv itu Mommy-nya Mikayla, berarti Tante Oliv itu siapanya Daddy?

Begitu Marcel akan menjawab, Olivia telah lebih sigap untuk menahan Marcel. Olivia lantas meminta pada Marcel agar ia bicara berdua dengan Mikayla. Marcel akhirnya mempersilakan kedua perempuan itu saling berbisik, tanpa dirinya tahu apa yang akan mereka bicarakan.

Olivia lantas mendekat pada Mikayla, lalu ia berbisik di telinga gadis itu, “Mikayla, ini rahasia kita berdua aja ya. Tante kasih tau, Tante Oliv itu temennya Daddy.” Olivia berbisik di telinga Mikayla sambil terlihat tengah menahan senyuman di wajahnya.

Mikayla tampak membulatkan matanya, lalu ia balas berbisik di telinga Olivia. “Oh gitu. Tapi Babe itu apa artinya? Kok Daddy manggil Tante pake Babe?”

“Artinya kita temenan. Itu panggilan untuk teman, karena saling menghormati,” ujar Olivia lagi.

“Oke-oke.” Ucap Mikayla sambil gadis itu sedikit terkikik.

“Kalian ngomongin apa sih?” celetuk Marcel yang terlihat sangat penasaran dengan obrolan dua perempuan itu. Keduanya tampak asik, membuat Marcel jadi curiga dan sungguh ingin tahu.

Olivia berusaha menahan tawanya, tapi Mikayla tidak sanggup lagi, hingga gadis kecil itu berakhir tergelak karena mendapati Marcel yang penasaran. Hanya Mikayla dan Olivia yang tahu, jadi mereka merasa telah berhasil mengerjai Marcel.

“Babe, kasih tau aku dong. Mikayla, ayo kasih tau Daddy, tadi kalian berdua ngomongin apa?” Marcel masih berusaha mendapat jawaban.

“Kan namanya rahasia, Daddy. Nggak boleh dikasih tau dong,” ujar Mikayla yang sudah kompak dengan Olivia.

“Good job, Mikayla. Jangan kasih tau Daddy, ya,” peringat Olivia.

“Tapi .. nanti Daddy kasih Mikayla mainan, terus kalau disuruh kasih tau, gimana?”

“Mikayla mau mainan apa, nanti Tante yang beliin. Minta ke Tante aja, asal jangan kasih tau Daddy. Oke?”

“Oke deh, Tante,” ucap Mikayla sambil menampakkan ibu jarinya dan disusul oleh sebuah senyuman manis.

Sore itu berakhir dengan Marcel yang dibuat penasaran berkat obrolan kedua perempuan beda generasi yang disayanginya. Namun apa pun rahasia tersebut, sepertinya sekarang tidak terlalu penting bagi Marcel. Saat ini yang menurutnya penting adalah bagaimana Mikayla dan Olivia dapat membangun bonding yang bagus. Marcel ingin putrinya mengenal Olivia dan juga perlahan bisa menyayanginya. Karena hanya Olivia yang Marcel inginkan menjadi pendamping hidupnya, serta seorang ibu untuk Mikayla dan juga anak-anaknya kelak.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒